Kurasa aku adalah satu-satunya orang di kota ini yang merasa tidak nyaman untuk kembali mengunjungi kampus tempat aku mendapatkan gelar tertinggiku. Aku bahkan tidak memiliki kenangan buruk atau semacamnya. Hubunganku dengan semua orang di kampus ini baik dan aku tidak pernah mengukir hal buruk apa pun pada nama baik kampus.
Tapi aku tidak menyangka betapa dengan hanya berjalan di lorong beratap menuju gedung jurusanku ini saja justru membuatku merasa tidak nyaman dan ingin segera meninggalkan tempat ini secepat mungkin. Apa pun yang pernah terjadi di sini tetap membuatku kembali mengingat keputusan-keputusan buruk yang kubuat dulu.
Kampus Angor terletak di pinggir Kota Angor, berada di daratan paling tinggi di kota ini. Di sini hanya ada beberapa beberapa jurusan yang disediakan. Dan semua jurusan memang dikhususkan untuk mencetak lulusan yang nantinya akan bekerja di semua industri dan lembaga yang tersedia di Kota Angor.
Aku mulai berjalan masuk ke dalam gedung jurusanku. Di atas pintu masuk, terpampang tanda besar bertuliskan ‘Jurusan Ilmu Komunikasi’. Mataku langsung bergerak menatap ke sekeliling. Kampus kini agak ramai karena aku datang disaat jam pertukaran kelas sedang berlangsung. Suara-suara langsung bercampur aduk dan suasana gedung langsung terasa ramai. Mahasiswa dan mahasiswi mulai keluar dari kelas sambil mulai mengobrol satu sama lain.
Langkah kakiku masih terasa familiar dengan tempat ini, walaupun sudah lebih dari 4 tahun berlalu. Sama seperti SD Angor, tempat ini tidak banyak berubah. Bahkan wajah-wajah di sini sedikit tidak asing. Bagaimana pun juga, aku pasti pernah melihat mereka di kota ini dulu.
Aku lalu mulai berjalan memasuki lorong-lorong kelas, mengintip pada setiap kelas untuk mencari sosok yang ingin kutemui.
“Lauren?” panggil seseorang dari belakangku.
Aku berbalik dan mendapati Bu Emma, dosen waliku dulu, berdiri menatapku dengan penasaran. Ia lalu tersenyum begitu yakin bahwa ini memang aku.
Aku langsung mengangguk sopan, tidak menyangka justru bertemu dengannya.
“Apa yang sedang kau lakukan di sini?” tanyanya kaget.
Beberapa murid melewatiku dan mereka kini menatapku dengan sorot penasaran. “Aku … hanya ingin berkunjung,” jawabku akhirnya.
Ia terdiam sesaat. “Kukira kau tidak akan pernah lagi menemui kami di sini,” ujarnya sambil terkekeh.
Aku berusaha tersenyum. “Apa Pak Haris datang hari ini?”
Ia berpikir sejenak. “Kurasa tidak. Seingatku dia sedang mengikuti seminar di ibukota sampai besok.”
Aku mengangguk paham. Walaupun jelas sebenarnya kabar ini sedikit mengecewakan bagiku.
“Kau butuh sesuatu? Mungkin aku bisa membantumu,” ujar Bu Emma, menyadari ekspresiku.
Aku hanya tersenyum, sedikit ragu. “Kurasa aku akan kembali lagi lusa,” jawabku akhirnya. Rasanya mungkin lebih baik aku menunggu Pak Haris untuk kembali.
Ia mengamatiku sesaat, lalu akhirnya tersenyum paham. “Kalau begitu, sampai nanti, Lauren.”
Aku membalas senyumnya sambil mengangguk sopan.
Bu Emma kemudian berbalik dan mulai berjalan menjauh dariku. Aku tetap menatapnya, tiba-tiba saja merasakan kebingungan dan kekalutan yang sangat aneh muncul dari dalam diriku. Suara-suara mahasiswa berlalu lalang di lorong ini kembali menyelimuti pendengaranku dengan cepat. Dan tiba-tiba saja kenangan itu langsung muncul di pikiranku.
“Aku belum punya kelompok. Minggu kemarin aku tidak masuk, ingat?” kata Sarah padaku begitu kami keluar dari kelas ini.
Aku meringis. “Kelompokku sudah penuh. Kami sudah cukup 6 orang.”
Sarah menggigit bibirnya, mulai berpikir keras. “Apa tidak boleh lebih dari 6 orang? Hanya tambah satu orang saja tidak akan masalah, kan?”
Tifa kemudian datang menghampiri kami. Aku mulai bersandar di dinding lorong, membuat ruang kosong untuk orang-orang lain yang melewati lorong ini. Sarah mengikuti, ia menatap Tifa dengan sorot berharap. “Kau sudah punya kelompok, Tifa?”
Tifa langsung menunjukku santai dengan senyuman di wajahnya, mengisyaratkan bahwa ia satu kelompok denganku. Sarah menghela napas kecewa. “Tentu saja kalian satu kelompok,” gumamnya.
“Bentuk saja kelompok baru. Seingatku bukan hanya kau yang tidak masuk hari itu. Ada Nio, Juna, Tari dan …” aku memicingkan mata, mencoba mengingat kembali siapa yang tidak hadir hari itu. Aku menjetikkan jari lalu menatap Sarah dengan puas. “Dan Dion!”