ANGOR

Indah Thaher
Chapter #12

Diam dan Lari

“Kau yakin?”

Sarah mengangguk pelan, terlihat sedikit ragu dengan keputusannya. “Lebih baik seperti itu. Daripada nantinya kami justru canggung,” jawabnya.

Aku tergelak pelan. “Tidak biasanya kau seperti ini pada pria mana pun. Seorang Sarah biasanya langsung bertemu dan mengajak kencan pria yang disukainya.”

Sarah berpangku tangan, melirikku sekilas dengan mencibir. “Itu artinya aku benar-benar menyukai Dion. Dia berbeda dengan laki-laki lain yang selama ini kupacari.”

Aku hanya tersenyum, tidak berkata apa-apa mengenai hal itu.

“Jadi bagaimana?” tanya Sarah padaku.

Aku mengangkat bahu. “Tidak masalah bagiku. Lagipula semakin ramai semakin seru. Dan kita mungkin bisa menyelesaikan tugas ini lebih cepat.”

Sarah tersenyum. “Bagus. Kalau begitu aku akan memberitahu yang lain sekarang juga,” ujarnya sambil mengambil ponsel dan mulai sibuk mengetik pesan. “Aku menyuruh mereka untuk berkumpul di sini saja.”

Aku mengangguk setuju. Mataku langsung mengintari kafe ini sekilas. Kafe ini lumayan luas dan terdapat beberapa sofa nyaman di pojok ruangan yang sangat nyaman jika dijadikan sebagai tempat diskusi. Pengunjungnya pun kini tidak terlalu ramai, mungkin karena ini masih hari minggu pagi.

“Sudah. Mereka akan datang sekitar 15 menit lagi,” katanya dengan puas.

Aku menatap Sarah beberapa saat, kemudian menyadari sesuatu. Aku mulai mengeluarkan ponselku dan mencari sebuah nomor. Nomor yang aku sendiri tidak yakin masih tersimpan di daftar kontakku.

Mataku langsung membesar sekilas begitu menyadari aku masih menyimpan nomor itu. Aku langsung menyodorkan layar ponselku pada Sarah.

“Apa?” tanya Sarah bingung.

“Nomor Hilda,” jawabku.

Ia langsung mengerutkan alis. “Lalu?”

“Kau sudah punya nomornya?”

Sarah mendengus geli. “Tidak. Tentu saja aku tidak punya. Dan bagaimana bisa kau sendiri punya nomornya?”

“Aku menyimpan nomor semua angkatan kita sejak disuruh oleh senior kita dulu saat OSPEK. Kukira semuanya melakukan hal yang sama.”

Sarah memutar bola matanya dan menggeleng pelan, lalu kemudian kembali sibuk dengan ponselnya. Aku masih menatapnya, ragu untuk bertanya.

“Kau sudah mengajaknya, kalau begitu?” tanyaku akhirnya.

“Siapa?” tanyanya, tanpa mengalihkan tatapannya dari layar ponsel.

“Hilda.”

Sarah langsung menatapku dengan senyum mencibir. “Kau sedang bercanda, ya.”

Aku terdiam sesaat. “Kau tidak jadi sekelompok dengannya?”

Ia kembali menatap ponselnya dan mulai mengotak-atik. “Kami satu kelompok,” jawabnya santai.

Aku kembali diam, kali ini menunggunya melanjutkan perkataannya. Sarah tidak lagi berbicara beberapa saat, kemudian ia akhirnya menoleh padaku dan menghela napas lelah. “Kau tau aku tidak akan mengajaknya ke sini dan berkumpul bersama kita di sini, kan? Ayolah, Lauren. Yang kita bicarakan ini adalah Hilda.” Ia mengucapkan nama itu dengan nada jijik.

Aku mengangguk, mulai tidak peduli dengan topik ini.

“Lagipula Dion juga akan datang.” Ia kemudian tertawa pelan. “Jadi tidak mungkin, kan.”

Lihat selengkapnya