Aku menelan dua butir pil berwarna biru itu sekaligus, kemudian meneguk segelas air hingga aku merasakan dua pil itu mengalir turun di kerongkonganku. Aku menarik napas pelan, sambil memejamkan mata untuk menunggu ketenangan itu mengerubungi pikiranku lagi.
Suara denting logam terdengar dari meja di dekatku.
“Aku sudah mengisikan bensin mobilmu,” ujar Paman.
Aku membuka mata dan mendapati kunci mobilku tergeletak di depanku.
“Terima kasih, Paman,” kataku sambil menatap Paman yang kini berjalan memunggungiku.
“Sebaiknya kau tidak usah keluar hari ini, Lauren,” kata Bibi sambil berjalan menghampiriku. Ia lalu menaruh sepotong roti bakar ke atas piringku.
Aku hanya diam, menatap kunci mobil itu dengan ragu.
“Lebih baik kau beristirahat saja. Nanti kau justru kelelahan saat kembali bekerja lusa,” sambungnya lagi.
Paman duduk di hadapanku. “Bibimu benar, Lauren. Sebaiknya kau di rumah saja hari ini,” ujarnya.
Aku mulai mengambil selai dan mulai mengolesnya di atas roti panggangku. “Aku tidak apa-apa, Paman. Lagipula aku benar-benar ingin menghabiskan waktu di kota untuk … nostalgia,” jawabku seadanya. Tiba-tiba saja suaraku mengecil ragu.
Paman dan Bibi bertukar pandang sejenak. Lalu kemudian Bibi duduk di sampingku, mulai mengoleskan selai ke roti panggang Paman. Mereka cukup tahu bahwa dengan fakta aku masih meminta seseorang mengisikan bensin saja sudah dapat membuktikan kondisiku tidak bisa dikatakan baik.
Beberapa saat tidak ada yang berbicara, jadi kurasa pembicaraan tadi sudah selesai. Aku benar-benar merasa baik-baik saja. Pil-pil itu hanya obat penghilang rasa sakit kepala yang belakangan ini sering muncul, terutama saat sebelum tidur dan saat aku bangun. Dan selama beberapa hari terakhir ini, aku tidak lagi mimpi buruk tentang keluargaku atau pun Hilda.
Lagipula aku benar-benar ingin menemui Adit kembali.
Sejak kemarin siang, aku masih belum menemukan alasan yang benar-benar masuk akal tentang mengapa Adit tiba-tiba kabur—dariku. Apakah karena tatapan orang-orang sekitarku itu? Apa Adit merasa seharusnya aku tidak lagi berbicara dengannya di depan umum?
“Kudengar kau pergi ke kampus kemarin,” kata Paman.
Aku mendongak, lalu mengangguk mengiyakan. “Ya, aku sebenarnya ingin bertemu dengan Pak Haris tetapi dia sedang keluar kota.”
“Dan kau juga pergi ke SD Angor,” ujar Paman lagi. Tapi kali ini suaranya terdengar sedikit aneh.
Aku kembali mengangguk, berusaha untuk bersikap biasa saja. Tapi aku sudah yakin, mereka pasti sudah mendengar pertemuanku dengan Adit.
Bibi menghela napas. “Lauren.”
Aku menatap Bibi, menyadari wajahnya kini diliputi kecemasan yang masih berusaha ia tutupi dariku. Ia mengelus tanganku beberapa saat. “Apa yang sebenarnya ingin kau lakukan di sana?”
Aku mengamati Bibi beberapa saat, kemudian pandanganku beralih pada Paman yang kini menatapku dengan sorot diam.
“Memangnya ada apa? Apa aku menyinggung seseorang di kota ini?” tanyaku akhirnya.
Bibi terperanjat sesaat. “Tidak, tidak. Hanya saja perilakumu membuat orang sekitar mulai salah paham, Lauren.”
Aku terdiam beberapa saat. “Aku hanya ingin berbicara dengan Adit. Itu saja.”
Paman menghela napas. “Kau membuatnya tidak nyaman, Lauren. Hanya itu.”
Alisku terangkat. “Aku?” sahutku tak percaya. Aku yang membuatnya tidak nyaman? Betapa ironinya hal ini. Saat sebenarnya justru semua orang di kota ini yang jelas-jelas tidak memperlakukannya dengan tidak adil.
Aku menghembuskan napas perlahan, mencoba menenangkan emosi yang tiba-tiba kembali muncul di dalam diriku. “Apa yang mereka katakan tentangku?”
Bibi langsung menggeleng pelan, terlihat jelas tidak menyukai pertanyaanku. “Mereka hanya belum menerima kedatanganmu kembali ke kota ini sepenuhnya, hanya itu,” jawab Bibi.
Entah kenapa kebohongan Bibi justru semakin memperjelas dugaanku bahwa kini semua orang di kota mengetahui bahwa aku mulai berkeliaran untuk membongkar penutupan sikap buruk yang mereka lakukan selama ini pada Hilda dan keluarganya.
Mereka jelas-jelas merasa terancam dengan hal ini.
“Aku berharap kau tidak lagi mengungkit masalah Hilda lagi dengan orang-orang di kota ini,” ujar Paman dengan nada datar.
Aku terdiam, sedikit kaget begitu menyadari bahwa Paman sedang memberikanku peringatan tentang hal ini. Selama beberapa saat suasana di ruang makan ini hening. Aku lalu kembali menatap Paman dan Bibi bergantian.