David masih memegang lenganku dengan erat. Ia menatapku dengan alis berkerut tak sabar, jelas-jelas sangat tidak menyukai apa yang baru saja kulakukan.
“Ikut aku,” katanya.
Aku langsung menahan lengannya dan kembali mencari sosok Adit yang kini sudah berlari jauh dari tempatku berdiri. “Kita harus mengejarnya,” ujarku sambil mulai melepaskan cengkramannya.
David justru semakin mempererat cengkramannya di lenganku. “Ikut aku,” katanya lagi. Kali ini dengan suara rendah memperingatkan.
Aku menatapnya tak percaya. “Anak itu jelas-jelas sedang ketakutan dan berusaha lari dari sesuatu. Kita harus berbicara dengannya.”
David menghela napas kesal. Tangannya kembali menarik lenganku. “Ikut aku sekarang dan hentikan kegaduhan ini sebelum aku benar-benar harus menyeretmu.”
Perkataannya kemudian menyadarkanku bahwa sejak tadi beberapa orang-orang di sekitar kami menatap dengan sorot penasaran. Dari kejauhan, aku melihat satpam yang tadi hendak menghampiriku kini hanya berdiri diam memandang kami—tepatnya aku, dengan alis bertaut.
Aku berdecak kalah, akhirnya menyerah dan membiarkan David menarikku berjalan pergi dari tempat itu. Kami terus berjalan, melewati taman bermain di depan sekolah itu, hingga akhirnya sampai di depan mobil sedan hitam yang sama dengan mobil yang kutumpangi saat menemuinya dulu di hotel.
“Masuk,” katanya lagi.
Aku menatapnya sekilas lalu akhirnya menurutinya masuk ke dalam mobil tersebut. Begitu aku sudah duduk di kursi penumpang, barulah ia membuka pintu mobilnya dan duduk di kursi kemudi.
Suasana di mobil kini hening. Aku meliriknya dan menyadari ia kini mulai memasukkan kunci untuk menghidupkan mesin mobil.
“Kita akan kemana?” tanyaku, menyadari kali ini kami tidak akan berbicara di mobil seperti saat terakhir kami bertemu.
“Ke rumahmu,” jawabnya singkat. Ia bahkan tidak menatapku sama sekali.
Aku mengerutkan alis. “Kurasa kita perlu bicara dulu,” ujarku dengan tak sabar. Bagaimana pun, ia berhutang penjelasan padaku sebelum akhirnya membawaku pulang dari sini.
David menghela napas kesal. “Aku tidak menyangka kau benar-benar berulah. Kau terlihat seperti gadis pendiam yang benci keributan,” gumamnya.
Aku menatapnya beberapa saat, mulai menyadari nada tidak suka dalam suaranya. “Aku sudah katakan padamu semua hal tentang Hilda dan semua orang di kota ini, kan?” ujarku tenang. “Yang kau sebut berulah ini adalah caraku untuk membuktikan bahwa dugaanku tentang kematian Hilda memang benar,” sambungku.
Wajah David berubah datar. Selama beberapa saat suasana kembali hening di dalam mobil. Kemudian aku menyadari bahwa mobil ini mulai melambat. David memberhentikan mobil kami di pinggir jalan, tepat di depan lapangan basket umum yang sering digunakan anak-anak muda untuk bermain di kota ini.
David kemudian berbalik, menatapku diam beberapa saat sampai akhirnya mulai berbicara. “Yang kau lakukan selama ini hanya membuat orang sekitarmu tidak nyaman. Terutama yang kau lakukan hari ini. Kau baru saja membuat gaduh sekolah anak.”
“Yang kulakukan hanya berbicara dengan anak itu. Dan satpam itu jelas-jelas ingin menghalangiku untuk bertemu dengannya. Dia jelas-jelas bersekongkol untuk menghalangiku—”
“Anak itu memang meminta satpam itu untuk menjauhkannya darimu,” potong David lagi.
Aku langsung terdiam, berusaha mencari kebohongan dari apa yang baru saja ia katakan padaku. Tapi David tetap menatapku dengan tenang, sama sekali tidak terlihat ada kebohongan di wajahnya.
Alisku berkerut bingung. “Itu tidak mungkin …” Satpam itu jelas-jelas tidak pernah menaruh perhatian banyak pada bocah itu. Jadi kenapa tiba-tiba kali ini berbeda?
“Aku menyaksikan dan mendengar sendiri anak itu meminta untuk melindunginya darimu,” jelas David.
“Melindunginya dariku? Apa maksudnya …?” sahutku bingung. Suaraku tiba-tiba mengecil. “Kau membuatku terdengar seperti selama ini aku yang melukai anak itu.”
David hanya mengamatiku dengan diam, tidak menjawab pertanyaanku. Ekspresinya tidak berubah.
“Aku berusaha mencari bukti dan mengungkap kebenaran di sini—”
“Aku sudah bilang padamu untuk tetap diam dan biarkan kami yang mengurusnya,” potongnya.
“David, aku hanya berbicara dengannya sekali. Dan dalam sekali pertemuan itu saja aku sudah langsung bisa menyadari bahwa perlakuan semua orang di kota ini sama sekali tidak berubah pada keluarganya. Kau tidak lihat?” tanyaku. Suaraku kini mengeras, ikut terpacu dengan jantungku yang mulai berdetak cepat.