“Duduklah, Lauren,”
Aku mengangguk dan duduk berhadapan dengan mereka. Mataku mulai bergerak mengintari kafe ini. Kafe ini tidak terlalu ramai, hanya ada beberapa pengunjung yang datang dan semuanya adalah mahasiswa yang sedang berkumpul dengan teman-temannya.
“Kau ingin pesan sesuatu?” tanya Nika padaku.
“Es kopi saja,” jawabku.
Ia kemudian menoleh pada Vera yang duduk di sebelahnya.
“Aku seperti biasa,” jawabnya singkat.
Nika kemudian mengangguk, lalu menjentikkan jarinya pada pelayan yang berada tidak jauh dari kami. Seorang pelayan langsung bergegas menghampiri kami dengan langkah cepat.
“Buatkan satu es kopi, peppermint tea dan jus apel,” katanya dengan cepat.
Si Pelayan langsung mengangguk sambil mencatat dengan cepat di buku kecilnya. Kemudian ia bergegas kembali ke meja kasir sambil meneriakkan pesanan kami.
“Sudah berapa tahun kau mendirikan kafe ini?” tanyaku pada Nika, pandanganku masih tertuju pada pelayan itu. Ia masih berdiri di meja kasir, sedang memastikan pesanan kami untuk dibuat secepatnya.
“Sekitar 4 tahun,” jawab Nika singkat.
Aku mengangguk paham, kembali mengamati tempat ini. Sejak dulu Nika memang sudah pernah menyinggung keinginannya untuk memiliki sebuah kafe di kota ini. Dan aku tidak terkejut jika Nika berhasil mewujudkan cita-citanya. Nika dari dulu adalah anak berprestasi dan pintar. Ia hampir selalu menjadi juara kelas. Nika dan Sarah terkadang sering dibanding-bandingkan, tapi rasanya semua orang sudah bisa membedakan mereka. Nika cenderung kepada tipikal gadis pintar yang serius, sedikit kaku dan sangat fokus dengan tujuannya, sedangkan Sarah adalah gadis pintar yang santai, berkarisma dan sangat mudah disukai oleh orang-orang.
Nika mengamatiku dengan diam, menungguku mengatakan sesuatu. Vera yang menyadari situasi ini mulai melirik kami bergantian dengan wajah bingung.
“Jadi … Lauren, bagaimana rasanya tinggal di ibukota?” tanya Vera sambil tersenyum, berusaha menghentikan keheningan di antara kami.
Nika melirik sekilas Vera, kemudian kembali menatapku. Jika pertanyaan itu bukan dari Vera, aku pasti sudah menganggapnya sedang menyindir tentang kepergianku dari kota ini yang dianggap sebagai pengkhianatan. Aku tahu Vera hanya bertanya untuk basa basi, seperti halnya yang pernah dilakukan oleh bibiku saat aku kembali ke kota ini beberapa hari lalu.
Aku tersenyum. “Menyenangkan. Walaupun kotanya padat, tapi pemandangannya tetap indah.”
Vera mengangguk paham. Ia masih menatapku beberapa saat, lalu tersenyum. “Sarah benar, kau terlihat berubah sekarang,” katanya.
Aku terdiam sesaat, menyadari sesuatu. “Kalian masih sering menghabiskan waktu bersama, kalau begitu,” ujarku tanpa bisa kutahan.
Vera tersenyum lebar. “Ya. Kami masih berusaha untuk sering bertemu walaupun sudah sibuk bekerja.”
“Tifa bilang kemarin kau menemuinya.” Nika yang bersuara kini. Aku mendongak dan mendapatinya kini menatapku dengan sorot aneh.
“Ya, kemarin aku menemuinya.”
“Tifa kini juga sering bersama kami,” timpal Vera. Senyum masih bertengger di wajahnya.
Aku terdiam lalu mengangguk pelan. “Ya, aku sudah bisa menduganya.”
Nika masih menatapku dan aku sadar Tifa pasti juga sudah menceritakan semua percakapan kami saat itu pada semuanya. Dari ekspresinya saja, aku sudah bisa menebak bahwa mereka semua berada di pihak yang sama, pihak Sarah.
Aku menarik napas perlahan lalu memajukan badanku untuk menatap mereka dengan serius. “Yang aku inginkan hanya mencari kebenaran,” kataku pelan. Nika mengerutkan alis dan aku menyadari bahu Vera kini terlihat tegang, mengerti kemana arah pembicaraan ini.
“Bahwa selama ini kita semua mem-bully Hilda?” sambung Nika dengan suara tenang.