“Kau bertemu dengan … Dr. Eli?” tanyaku dengan ragu.
“Ya.”
Aku menatapnya dengan perasaan berkecamuk. “Untuk apa?”
David tidak menjawab. Dan itu justru membuatku semakin kalut. Aku menyadari bahwa David kini melihat bahwa tuduhanku hanyalah bualan. Ia tidak sepenuhnya—mungkin bahkan tidak pernah mempercayai ceritaku.
“Aku tidak gila …” Hanya itu yang bisa keluar dari mulutku. Aku menarik napas lagi, mencoba mengeluarkan semua yang ada di pikiranku saat ini. “Dan aku sudah sembuh—dari apa pun penyakit yang Dr. Eli katakan padamu. Kau harus percaya padaku. Semua yang kukatakan padamu itu semua jujur.”
“Aku bukan tidak percaya padamu,” katanya.
“Lalu kenapa kau ingin bertemu Dr. Eli?”
David kembali diam, hanya menatapku beberapa saat sebelum kembali bicara. “Sejak kapan kau melakukan perawatan dengan Dr. Eli?”
“Kau tidak menanyakan ini padanya?” sindirku, rasa kesalku kini mulai muncul.
David tetap diam, menungguku. Aku mengatupkan rahangku keras, kemudian meringis kesal. “Kau ingin aku mengatakannya? Baiklah, aku mengikuti terapi setelah kematian keluargaku.”
“Bagaimana mereka meninggal?”
Jantungku langsung berpacu cepat. Tapi dengan susah payah, aku tetap berusaha untuk bersikap normal dan tidak memperlihatkan pada David bahwa topik ini masih bisa mempengaruhi dengan sangat cepat. Itu hanya akan memperberat dugaannya tentangku.
“Dia tidak cerita padamu?” suaraku terdengar sangat aneh.
“Tidak.”
“Apa yang kau tanyakan padanya, kalau begitu?”
“Penyakitmu.”
Tanpa sadar aku menelan ludah, merasakan kerongkonganku yang begitu kering kini. Tapi aku tetap diam, menunggunya melanjutkan jawabannya.
David menatapku lekat. “Kau didiagnosa mengidap PTSD. Dan sempat berisiko Schizophrenia,” jawabnya pada akhirnya.
Aku hanya diam, tidak merasa perlu untuk membenarkan jawabannya lagi. Sejak dulu aku tidak pernah suka mendengar nama-nama penyakit itu. Kedua nama itu seperti menjadi sebuah tanda kelemahan menyedihkan yang tertempel di tubuhku selamanya.
“Dan aku sudah sembuh,” ujarku pada akhirnya, setengah pada diriku sendiri.
David menatapku beberapa saat. “Dia bilang beberapa hari lalu kau menelponnya.”
“Ya. Aku meminta surat resep obat tidur dan penenang darinya. Hanya itu.”
“Kenapa? Apa ada sesuatu yang menganggumu?”