ANGOR

Indah Thaher
Chapter #18

Atap Berawan

Itu pertama kalinya aku menceritakan penyebab kematian keluargaku pada orang lain selain Dr. Eli. Bahkan Paman dan Bibi pun tidak pernah mendengar kesaksianku tentang hal itu.              Anehnya, aku justru menceritakan hal itu pada pria yang hanya baru kukenal 3 hari yang lalu. Pada seseorang yang berasal dari lembaga kepolisian, lembaga yang sejak dulu tidak pernah kusukai sama sekali.

Tapi aku sadar, ada sesuatu dari diri David yang membuatku ingin agar ia benar-benar sepenuhnya percaya padaku. Mungkin sebagian kecil dari alasan itu adalah karena ia bukan berasal dari kota ini. Ia adalah orang luar yang justru sangat kuharapkan akan bersikap adil dan tidak memihak siapa pun.

Kupikir setelah menceritakan hal itu padanya, ia tetap menahanku untuk menggali informasi lebih dalam lagi. Tapi nyatanya tidak. Ia membiarkanku pergi. Dan anehnya, aku justru mulai merasakan adanya keberanian muncul. Bahwa aku mungkin akan bisa menegakkan kepalaku dan tidak lagi berusaha lari dari kenangan buruk itu seperti yang biasa kulakukan sejak dulu.

Mungkin keberanian itulah alasan mengapa tiba-tiba aku memutuskan untuk mengunjungi rumah ini lagi.

Aku menatap rumah itu dengan tangan masih memegang kemudi dengan erat. Rumah itu masih tetap sama seperti dulu, persis seperti terakhir kali aku meninggalkannya 4 tahun lalu. Paman dan Bibi pernah berkata padaku bahwa mereka masih merawat rumah ini bahkan setelah aku pergi.

“Bagaimana pun juga, rumah ini adalah milikmu.” Itu kata Pamanku dulu.

Aku pernah berpikir untuk menjual rumah ini, tepat setelah aku memutuskan untuk pergi dari kota ini dan tidak akan pernah kembali lagi ke sini. Keputusan itu sudah ada di ujung mulutku, sudah bersiap kulontarkan pada Paman dan Bibi saat hari terakhir sebelum aku pindah ke ibukota. Tapi entah kenapa, hal itu tidak pernah keluar dari mulutku. Rasanya ada sesuatu yang menahanku untuk mempertahankan rumah ini.

Mungkin dari atas sana Ayah dan Ibu membisikkannya di telingaku. Entahlah.

Aku meraih tasku yang tergeletak di kursi penumpang. Begitu aku mendapatkan apa yang kucari, aku mulai bergerak keluar dari mobil. Langit kini sudah mulai menggelap, matahari sudah hampir sepenuhnya tenggelam. Aku tetap berjalan, melewati halaman kecil yang rerumputannya masih tertata rapi. Suara langkahku samar-samar terdengar di antara keheningan.

Rumahku memang terletak sedikit berjarak dari rumah lainnya. Lokasi rumahku terletak paling ujung di utara kota Angor, hampir berada di perbatasan ke kota seberang. Rumah Pak Wuno—tetanggaku baru berjarak 200 meter dari sini. Kemudian di belakang rumah, terdapat banyak pohon-pohon besar yang semakin membuat rumah ini sedikit tersamarkan dari jauh. Walaupun begitu, aku masih bisa melihat sedikit jelas rumah Paman dan Bibi dan beberapa rumah di sekitarnya.

Begitu aku sudah berada di depan pintu masuk, aku mulai membalikkan tanganku. Mataku sesaat menatap kosong kunci usang yang sejak tadi kugenggam.

Apa yang kulakukan sekarang adalah sesuatu yang jelas-jelas sangat tidak akan disangka oleh Dr. Eli. Selama ini aku selalu menghindar untuk kembali menghadapi kembali kenangan burukku. Aku memang sudah sembuh, tapi aku tau benar trauma itu masih tersimpan jelas di dalam pikiranku. Dan mungkin ini justru akan benar-benar memicu penyakitku benar-benar akan kambuh.

Tapi lagi-lagi, rasanya ada sesuatu yang mendorongku untuk mencobanya. Ada dorongan keinginan bahwa aku ingin membuktikan—entah pada siapa—bahwa aku tidak ingin lari lagi.

Aku kemudian memasukkan kunci tersebut, memutarnya dan mendengarkan suara klik tanda pintu itu terbuka.

Lalu aku menarik napas panjang dan membuka pintu itu.

Aroma khas dari rumah ini langsung menyelimuti indra penciumanku. Dan ada perasaan nyaman bercampur kesedihan yang langsung datang menutupiku. Aku tetap berusaha menatap ke sekeliling rumah itu dengan tatapan lapar.

Lihat selengkapnya