ANGOR

Indah Thaher
Chapter #19

Ingatan Mimpi

Suara langkah kaki cepat terdengar dari arah tangga.

“Noah, jangan berlari di tangga. Nanti kau bisa jatuh,” kata Ibu dengan suara memperingatkan.

Suara langkah kaki itu langsung melambat, disertai suara terkekeh pelan.

Sedetik kemudian, selimutku tiba-tiba tersibak, diikuti dengan sebuah tangan besar yang kini mulai mengacak-ngacak rambutku dengan cepat.

“Ayah,” erangku, sudah menebak siapa pemilik tangan jail itu tanpa perlu mengecek sekali pun.

Ayah terkekeh lalu kembali mengacak rambutku lagi. “Kau tidak ada tugas sekolah sama sekali?”

Aku kembali menarik selimut itu menutupiku tanpa membuka mata sedikit pun. “Tidak ada. Ini hari pertama liburanku, jangan ganggu,” ujarku.

“Tidur di kamarmu, kalau begitu,” ujar Ayah geli.

“Tapi makan siang dulu, Sayang,” potong Ibu.

Suara langkah kaki terdengar dan aku menyadari Ayah sudah berjalan menjauh dari sofaku. “Kenapa dia senang sekali tidur di sofa itu, sih?” gumamnya dari kejauhan.

“Sofa ini dekat dengan kulkas dan dapur. Jadi aku tidak perlu repot-repot jika sedang kelaparan,” jawabku dengan cukup keras, masih belum bergerak dari posisi tidurku.

“Bukan karena kamarmu bau?” sahut Ayah.

“Tentu saja bukan!” kali ini aku bangun sambil melempar bantalku ke arah Ayah. Ia dengan lihai menangkapnya dengan senyum menang. Ibuku terkekeh.  

Aku tidak pernah menyukai dingin, dan hujan selalu membuatku merasa gelisah.

Alasanku tidur di sofa ini karena aku tau sepanjang malam aku akan bisa mendengar suara Ayah dan Ibu sampai aku benar-benar terlelap, karena mendengar suara mereka saja sudah bisa membuatku merasa aman. Suara Ibu yang mengaduk segelas susu untuk Noah, suara Ayah yang baru pulang saat tengah malam atau suara langkah kaki mereka dari atas setelah mengucapkan selamat malam pada Noah. Suara-suara kecil seperti itu saja sudah bisa menentramkan malamku.

“Mungkin sebaiknya kita pergi keluar hari ini,” ujar Ayah beberapa saat kemudian.

“Ayo, Ayah!” seru Noah dengan mata berbinar-binar.

Ayah terkekeh. “Kau punya ide, Noah?”

Noah mengangguk cepat. “Aku ingin ke Danau Angor. Sudah lama kita tidak pernah ke sana lagi.”

“Kita bisa piknik di sana, atau memancing,” timpalku sambil tersenyum.

Ibu langsung tersenyum lebar. “Kurasa itu ide bagus. Lagipula hari ini sepertinya akan terus cerah, setelah kemarin hujan terus-menerus.”

Ayah menepuk lututku sambil nyengir. “Baiklah, kalau begitu. Lebih baik kita keluar sekarang sebelum anak satu ini kembali meringkuk tidur lagi,”

Aku berdiri di depan danau. Danau itu luas dan airnya begitu tenang. Di sekeliling danau ini ditumbuhi oleh hutan dengan pohon-pohon tinggi menjulang. Danau itu kini sepi, sesuatu yang sedikit aneh sebetulnya karena biasanya tempat ini selalu ramai saat akhir pekan seperti hari ini. Hari ini sepertinya hanya ada kami di sini.    

“Ayo duduk di sini, Lauren.”

Aku mendongak dan mendapati Ayah yang kini sedang duduk sambil memegang alat pancingnya. Aku menuruti Ayah dan mulai duduk di sebelahnya. Suara tawa Noah dan Ibu kemudian terdengar, membuat aku dan Ayah langsung berbalik menatap mereka berdua dengan bingung.

“Apa yang kalian tertawakan?” tanya Ayah.

Noah langsung mengatupkan mulutnya, menahan tawanya dengan susah payah. Ibu menggeleng, masih tertawa. “Tidak ada apa-apa.”

Ayah langsung berpura-pura cemberut. “Kalian pasti sedang membicarakan Lauren dan aku.”

“Kenapa Ayah membawa-bawaku dalam hal ini?” kataku sambil mendorong pelan lututnya.

Lihat selengkapnya