ANGOR

Indah Thaher
Chapter #20

Manusia

Aku membuka mata dengan cepat, terkesiap menatap ke atas langit-langit ruang tamu. Begitu menyadari semua situasi, barulah aku bangun, menyandarkan punggungku ke pinggir sofa dan mulai menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan detak jantungku yang sejak tadi berdetak liar. Aku memejamkan mata, merasakan suara detak jantung itu mulai sedikit demi sedikit tidak lagi berpacu kencang.

Pikiranku langsung kembali berkecamuk penuh dengan semua ingatan dan mimpi itu.

Apakah aneh jika aku benar-benar mengingat dengan jelas semua hal yang terjadi pada mimpiku barusan?

Atau apakah itu memang bukan sepenuhnya mimpi?

Aku kembali menatap ke sekeliling rumah itu. Langit kini sudah gelap gulita, dan ruangan ini bahkan sudah gelap tanpa ada satu pun lampu yang hidup. Semuanya yang ada di ruangan ini sama persis dengan apa yang ada di mimpiku. Sofa ini, selimut ini, bantal sofa dan meja makan dapur itu. Tapi justru yang kurasakan saat ini justru hanyalah rasa sepi dan keheningan yang kosong. Rasa-rasa itu datang dengan cepat menyelimutiku, seolah-olah tidak sabar untuk menarikku kembali pada kenyataan yang sebenarnya.

Badanku kembali gemetar begitu mengingat kembali percakapanku dengan Hilda. Sekali pun itu hanya mimpi, aku benar-benar merasakan betapa nyatanya hal tersebut. Rasanya seperti Hilda benar-benar datang untuk berbicara denganku.

Dan aku sangat berharap semua yang ia katakan padaku di mimpi itu memang benar-benar terjadi.

Aku mulai mencoba bangkit berdiri dari sofa. Namun begitu aku berjalan menuju tombol lampu, tiba-tiba saja kepalaku terasa mulai berputar-putar dengan cepat. Tanganku dengan cepat menggapai apa pun untuk menyangga tubuhku yang mulai lemas. Sambil bersandar di dinding, aku memejamkan mata menahan rasa pusing itu. Aku mengumpat pelan, mengingat bahwa aku tidak membawa obatku hari ini. Keputusanku untuk menginap di rumah ini baru muncul setelah aku bertemu dengan David tadi, jadi tentu saja aku tidak berpikir untuk membawa obat itu. Sejak dulu aku memang tidak pernah suka membawa obat itu kemana-mana. Itu hanya memperlihatkan pada orang-orang tentang kelemahanku.

Aku bergegas menekan tombol lampu lalu kembali bersandar di kursi dengan cepat. Tarikan napas beberapa kali keluar dari mulutku, mencoba membuat denyut sakit kepalaku sedikit menghilang.

Beberapa lama aku hanya menatap diam meja di hadapanku. Kemudian begitu rasa denyut sakit mulai mereda, aku mulai mengeluarkan ponselku dan memencet tombol untuk melakukan panggilan.

Pada nada sambung kedua, panggilanku langsung diterima.

“Halo?”

Aku menelan ludah. “David,” sahutku dengan pelan, masih tidak yakin mengapa aku tiba-tiba menghubunginya.

Ada jeda. “Lauren?”

“Ya, ini aku.”

“Ada apa?” tanyanya dengan nada waspada.

“Tidak, tidak ada apa-apa,” ujarku serak. Aku lalu berdeham.

“Kau baik-baik saja?” tanyanya. Ia pasti mendengar suaraku yang tiba-tiba serak.

“Aku baik-baik saja. Aku hanya … bisa kau datang menjemputku?” pintaku akhirnya.

Tidak ada suara beberapa saat. “Tentu saja,” jawab David akhirnya.

 

 

***

 

“Terima kasih sudah datang,” ujarku.

David menatapku sesaat. “Tidak masalah,” sahutnya. Tatapannya masih tertuju padaku. “Apa yang sebenarnya kau lakukan di sini?”

Lihat selengkapnya