Aku mengetuk pintu tersebut beberapa kali, kemudian membukanya. Dan seketika itu juga aroma khas rumah sakit langsung memenuhi indera penciumanku, sekali pun aku tahu tidak ada obat-obatan di ruangan ini. Ruangan ini bahkan berada paling jauh dari bagian apotek.
“Duduklah, Lauren,” ujarnya.
Dr. Eli langsung tersenyum begitu aku sudah berada di dalam ruangan. Ia masih menggunakan kacamata kecilnya—yang selalu ia kenakan setiap kali masih berkutat dalam buku catatan besar berwarna merah yang selalu tergeletak di mejanya. Tangannya masih memegang pulpen, baru saja berhenti menuliskan sesuatu di buku itu.
Aku mengangguk kecil, kemudian mulai berjalan menuju mejanya sambil melemparkan pandanganku ke seluruh ruangan. Kamar itu tidak terlalu luas, tapi cukup menyisakan banyak ruang kosong. Di ruangan ini hanya terdapat meja dengan kursi nyaman yang saling berhadapan. Di sampingnya terdapat sebuah jendela besar dengan tirai transparan yang masih samar-samar memperlihatkan pemandangan taman depan rumah sakit ini. Di dekat pintu, terdapat sebuah kasur kecil dan meja kecil dengan segelas air putih.
Tidak ada yang berubah dari tempat ini, aku sadar itu.
Termasuk rasa dingin aneh yang selalu terasa setiap kali aku masuk ke dalam ruangan ini. Rasa dingin yang tidak ada hubungannya dengan pendingin udara di ruangan itu. Rasa dingin itu berbeda. Rasa itu tidak hanya bisa menembus kulit dan tulang di seluruh badanku, tapi juga bisa menembus jantungku. Seperti ada sesuatu yang basah dan dingin yang menempel di sana.
Aku menarik napas kecil, berusaha untuk bersikap biasa dan tidak memperlihatkan rasa tidak nyaman saat rasa dingin itu kembali datang menyelimutiku dengan cepat.
Dr. Eli kini menutup bukunya, kemudian melepas kacamatanya. Ia bangkit dan berjalan menghampiriku sambil merentangkan kedua tangannya padaku. Aku tersenyum, menyambut pelukannya. Ia menepuk punggungku dengan lembut, sebagaimana seorang ibu menyambut anaknya yang sudah berkelana jauh selama beberapa tahun.
“Bagaimana kabarmu?” tanyanya padaku.
Aku menjawab enggan. “Kurasa Dokter lebih tau soal itu daripada aku,” gumamku.
Dr. Eli terkekeh pelan. Ia kemudian melepas pelukannya, lalu mengamatiku beberapa saat. “Kau terlihat baik, Lauren,” ujar Dr. Eli singkat.
Aku hanya diam, tidak tahu apakah perkataannya barusan hanya basa basi untuk membuatku nyaman.
“Kau mau minum?” tanyanya.
Aku mengangguk. “Air putih saja.”
Dr. Eli kemudian berbalik dan menuju meja kecil di samping kasur kecil itu, menuangkan segelas air putih kemudian menaruhnya di meja hadapanku. Ia lalu menelengkan kepala, mengisyaratkanku untuk duduk.
Begitu kami kini duduk berhadapan, barulah aku merasakan suasana hening yang sejak dulu sangat tidak kusukai setiap kali aku datang ke sini. Keheningan itu selalu membuatku gelisah. Karena aku tahu saat itu Dr. Eli seolah sedang membaca situasiku, apa yang ada di dalam otakku—di bagian yang paling ingin kurahasiakan dari semua orang di dunia ini.
“Jam berapa kau sampai di ibukota?” tanya Dr. Eli dengan nada biasa.
“Subuh. Sekitar jam 6.” Ini pertama kalinya aku melakukan penerbangan dini hari. Aku bahkan tidak meminta Paman dan Bibi untuk ikut mengantarkanku ke bandara.
“Kau bekerja hari ini?” tanyanya lagi.
Aku menggangguk. “Aku harus kembali ke kantor sebelum jam 1.”
Dr. Eli mengangguk paham. Lalu suasana kembali hening dan aku sadar sepenuhnya bahwa Dr. Eli menungguku membuka mulut, menceritakan apa saja—terutama tentang penyebab kondisiku kembali memburuk begitu datang ke Angor.
“Jadi bagaimana perjalananmu selama di Angor?” tanya Dr. Eli pada akhirnya.