ANGOR

Indah Thaher
Chapter #22

Satu Kebenaran

“Ini pesanan anda, Nona.”

Aku mengambil kopi itu. “Terima kasih.”

Pelayan itu tersenyum sambil mengangguk ramah. Aku lalu berbalik, berjalan keluar dari kedai kopi ini. Begitu sampai di luar, aku langsung menyesap kopi itu, membiarkannya mengalirkan rasa hangat di dalam tubuhku dengan perlahan. Titik-titik hujan kecil masih berjatuhan dari langit dan rasa dingin hujan masih sangat berbekas, terutama saat malam seperti ini.

Aku berjalan, masih mengenakan baju kantorku—kemeja biru gelap dan rok coklat selutut. Beberapa toko di sekitar stasiun kereta kini semakin ramai, terutama saat malam seperti ini. Hari ini aku memang lembur, seperti yang kuduga. Terlebih karena hari ini aku juga izin keluar menemui Dr. Eli tadi siang dan baru kembali ke kantor sekitar jam 3, sedikit terlambat dari jam yang kujanjikan.

Percakapanku dengan Dr. Eli ternyata lebih lama dari yang diperkirakan. Aku sendiri tidak menyangka hal ini. Kurasa itu mungkin adalah percakapan terlama antara aku dan Dr. Eli selama berada di ruangan itu.

Kurasa tidak hanya aku, tapi juga Dr. Eli, yang menyadari betapa berubahnya aku saat terakhir kali aku berada di ruangan itu bersamanya. Semua hal, tentang keluargaku, paman dan bibiku, Hilda sampai David sekali pun.

Dan aku rasa Dr. Eli juga menyadari tentang obsesiku yang sedikit aneh untuk mendapatkan kepercayaan David. Dr. Eli tahu bahwa selama ini aku tidak pernah peduli dengan pendapat orang lain di sekitarku, bahkan sampai sekarang.

Dan lagi-lagi, kenapa David berbeda?

Aku sendiri tidak berani menanyakan jawabannya pada Dr. Eli, entah kenapa.

Helaan napas keluar dari mulutku tanpa sadar. Aku kembali menyesap kopiku, mencoba kembali menenangkan pikiranku dari semua hal itu. Hari ini terasa sungguh panjang. Dan badanku tidak terasa lelah, pikiranku yang terasa lelah.

“Lauren?” panggil seseorang samar-samar dari belakangku.

Sejenak aku ragu untuk berbalik, tidak yakin apakah ada yang benar-benar memanggilku.

“Lauren?” Kali ini suara itu terdengar lebih keras. Dan badanku seketika langsung kaku begitu aku mengenali suara itu. Aku langsung berbalik dengan cepat dan jantungku langsung berdebar penuh kelegaan menatap pemuda itu.

Tommy.

Ia langsung tersenyum lebar, menatapku dengan sorot penuh kegembiraan. Dan aku berharap ia juga dapat melihat sorot itu dari mataku. Aku langsung berlari dan memeluknya dengan erat. Tommy langsung terkekeh menyambut pelukanku.

“Apa kabar, Cantik?” tanyanya. Aku tersenyum mendengar suaranya yang selama ini selalu memberikan rasa nyaman yang menyenangkan.

Aku masih membenamkan wajahku pada bahunya yang bidang, membiarkan aroma khasnya memenuhi pikiranku lagi. Tangannya kini mulai membelai rambutku dengan lembut.

“Kuharap kau tidak melakukan hal seperti ini pada setiap mantan pacarmu,” candanya.

Aku terkekeh pelan, lalu mulai melepaskan pelukanku. “Jangan khawatir, Tommy. Kau selalu istimewa bagiku,” ujarku.

Ia ikut terkekeh. “Baguslah.”

Aku mengamati wajahnya beberapa saat. Ia masih seperti Tommy yang terakhir kulihat sejak 4 tahun lalu. Ia masih Tommy yang memancarkan aura boyish, bebas dan menawan. Hanya saja penampilannya kini terlihat sedikit lebih dewasa. Tidak ada lagi rambut berantakan sebahu yang selalu ia ikat, kemeja besar dengan kaos dan jins robek. Ia kini terlihat rapi dengan setelan kemeja biru muda dan potongan rambut pendek.

“Aku tidak tau kau bekerja di ibukota,” ujarku sambil mengerutkan alis, sedikit kesal. Sejak 2 tahun lalu, aku tidak mendapat kabar apa pun darinya. Yang kutahu ia memutuskan pindah ke luar pulau dan bekerja di sana.

“Aku baru bekerja di sini beberapa hari,” katanya sambil nyengir.

“Benarkah?” sahutku. Jadi selanjutnya ia akan tetap bekerja di sini. Aku tidak bisa menyembunyikan kelegaan bahwa ia kini satu kota denganku.

Tommy tersenyum dan mulai mengamatiku. Sekarang gilirannyalah yang sedang memandangiku dari atas hingga ujung kaki. “Kau terlihat berubah, Lauren,” katanya sambil tersenyum miring.

Aku ikut tersenyum. “Kuharap itu pertanda baik.”

“Ya. Memang sangat baik.” Ia kemudian menarik lenganku, mengisyaratkanku untuk menepi dan memberi jalan pada pejalan kaki. Aku hampir lupa bahwa kami masih berdiri di tepi jalan umum.

“Rumahmu dimana? Biar kutemani kau pulang,” katanya.

“Kau yakin? Aku hanya perlu naik kereta dan turun di stasiun B12.”

Ia tersenyum puas. “Kita searah, kalau begitu. Ayo,” ujarnya sambil memeluk bahuku. Aku terkekeh dan mulai berjalan bersamanya. Rasanya seperti dulu saat kami masih bersekolah dan pulang bersama.

Tapi begitu kami melewati sebuah restoran, ia langsung berbelok dan menuntunku masuk ke dalam restoran itu.

Lihat selengkapnya