ANGOR

Indah Thaher
Chapter #23

Satu Suara

Aku menatapnya dengan penuh kelegaan, bercampur dengan rasa penyesalan yang terpancar sama di matanya. Rasanya ia adalah manusia pertama yang terlihat nyata di hidupku selama beberapa hari terakhir ini, sejak aku kembali ke kota itu dan menghadiri pemakaman Hilda.

Pikiranku kembali dipenuhi dengan perkataan Tommy yang lain tentang Sarah. Aku kembali menatapnya dengan serius.  

“Kau bilang Sarah semakin membencinya?” ulangku hati-hati.

Tommy mengangguk. “Aku mungkin tidak terlalu dekat dengan Sarah, tapi aku hampir sering bertemu di kantor ayahnya selama 2 tahun terakhir itu. Dan beberapa kali aku sering mendengarnya membicarakan Hilda.”

Aku mengerutkan dahi. “Apa yang dia bicarakan?”

Tommy diam sejenak, berpikir keras. “Aku tidak terlalu ingat. Tapi yang pasti itu masih menyangkut dengan Dion,” ujarnya.

Aku tertegun, langsung mengerti dengan apa yang dimaksud oleh Tommy. Dan sedikit tidak menyangka akan mendengar tentang hal ini lagi setelah bertahun-tahun berlalu.

Sejak kuliah dulu, ada gosip yang mengatakan bahwa Dion pernah terlihat bersama dengan Hilda. Kabar itu sangat heboh di kalangan kami, tentu saja. Dion, satu-satunya pemuda yang sangat Sarah cintai, justru adalah pemuda yang digosipkan bersama Hilda.

“Sarah dan Dion membatalkan pertunangannya beberapa bulan lalu.”

“Benarkah?” tanyaku tak percaya.

Tommy mengangguk. “Dion kini sudah pindah ke luar pulau, beberapa hari setelah pertunangan mereka batal.”

“Apa Dion dan Hilda digosipkan bersama lagi?”

Tommy melipat lengannya, mencoba mengingat kembali. “Rumor itu memang kembali heboh begitu kabar pertunangan mereka batal.” Tommy mengerutkan dahi. “Kurasa aku pernah mendengar Sarah berkata bahwa ia ingin semuanya langsung melapor padanya jika mereka sedang memergoki Dion bersama Hilda lagi,” sambungnya.

Aku terdiam beberapa saat, memikirkan informasi baru ini. Rasanya sangat wajar jika semua informasi ini mulai merangkaikan sebuah dugaan baru di kepalaku. Dugaan bahwa alasan Sarah melakukan sesuatu dalam kematian Hilda adalah karena ketidaksukaan dan kecemburuannya pada Hilda dan Dion.

Tapi aku juga menyadari bahwa dugaan ini sedikit meragukan, bahkan bagiku sendiri.

Rasanya sampai sekarang pun, aku masih tidak mempercayai gosip kebersamaan Dion dan Hilda itu benar-benar terjadi.

Entah darimana gosip itu berasal. Karena tidak ada satu pun—termasuk aku sendiri—tidak pernah melihat Dion berbicara dengan Hilda. Dion memang pria yang baik dan menawan, tapi sayangnya dulu ia tetap memihak pada orang Angor. Apalagi karena keluarganya juga adalah salah satu teman dekat pejabat kota. Tentu saja ia pastinya akan memikir dua kali untuk tidak merusak nama baik keluarganya. Ia sedikit sama denganku, kami sama-sama memutuskan untuk menutup mata dan larut dengan kebahagiaan kami sendiri.

Kini jika aku memikirkan hal itu, rasanya tidak aneh jika rumor itu sebenarnya memang berasal dari Sarah sendiri. Hanya untuk mendapatkan alasan untuk membuat semua orang semakin membenci Hilda. Bagaimana pun juga, pasangan Sarah dan Dion adalah pasangan yang sangat dikagumi dan direstui sepenuhnya oleh seisi kota ini. Mereka serasi dan seperti sudah ditakdirkan bersama, seperti pangeran dan putri.

“Apa kau pernah memergokinya melakukan sesuatu—setidaknya berbicara dengan Hilda?” tanyaku.

Tommy berpikir sejenak. “Kurasa tidak. Aku tidak pernah melihatnya berbicara akrab dengan siapa pun. Dia selalu … sendiri,” jawabnya pelan. Lagi-lagi ada penyesalan tersirat di dalam suaranya. “Tidak ada yang berubah,” katanya lagi.

Aku menatap kosong ke arah jendela, memandangi pejalan kaki yang berlalu lalang melewati restoran ini. Pikiranku kembali berkecamuk, memikirkan semua hal yang kami bicarakan hari ini. Rasanya banyak misteri yang masih belum benar-benar terbuka dengan jelas tentang Hilda. Dan aku sadar tidak banyak orang yang bisa kumintai bantuan dalam hal ini.

Aku kembali menoleh pada Tommy, lalu menarik napas pelan. “Hari ini aku datang menemui psikiaterku lagi,” ujarku akhirnya.

Tommy menatapku diam. Sama seperti Paman dan Bibiku, aku sadar ia sudah langsung bisa menebak penyebab yang mengirimkanku ke psikiater. Ia tidak bersuara, menungguku melanjutkan.

“Salah satu penyebab aku menemuinya memang karena itu.” Aku tahu aku tidak perlu lagi menjelaskan siapa yang kumaksud pada Tommy. Aku kembali diam beberapa saat. “Dan sepertinya itu sudah cukup memberikan alasan semua orang untuk tidak mempercayai dugaanku.”

“Dugaan apa?”

Aku menatap Tommy beberapa saat sebelum akhirnya bicara. “Menurutku Sarah terlibat dalam kematian Hilda.”

Tommy terdiam, hanya menatapku dengan sorot kosong. Ia terlihat jelas sedang menahan diri untuk tidak berkata apa-apa sebelum aku menyelesaikan semua penjelasanku.

Aku menarik napas pelan. “Keanehan bahwa mereka menutup-nutupi semua tentang pengasingan itu sudah cukup membuatku curiga. Jadi aku mencoba menyelidikinya, mencoba bertemu dengan semua orang yang kukenal dekat di kota itu dan mencoba mengorek alasan mengapa mereka menyembunyikan hal itu,” ujarku. Aku menggeleng pelan. “Tapi semuanya benar-benar bersikap hal itu tidak pernah terjadi, seolah hanya aku yang mengingat semuanya,” sambungku.

Tommy kini mengerutkan dahi, menatapku dengan sorot dalam.

Aku menggeleng. “Aku sudah menemui mereka. Bu Emma, Pak Harris, Tifa, …” Aku terdiam beberapa saat. “Bahkan Paman dan Bibiku sendiri,” sambungku dengan pelan.

Suasana hening beberapa saat. Aku lalu menatap Tommy. “Lalu aku bertemu dengan Nika.” Aku diam sejenak, merasakan emosi campur aduk itu datang menyelimutiku kembali. “Nika bahkan berkata bahwa akulah dalang dan pemimpin dari semua pengasingan dan semua hal yang pernah kami lakukan pada Hilda,” ujarku akhirnya.

“Apa?” sahut Tommy tak percaya.

“Dia bilang alasan semua orang menyembunyikan ini—terutama dariku adalah karena mereka tidak ingin membuatku kembali terbebani karena aku sengaja melupakan hal ini dari ingatanku sendiri. Ingatan yang terhapus setelah kondisi mentalku rusak karena kematian keluargaku.”

Tommy tidak berkata apa-apa beberapa saat. Ia kemudian menunduk, dahinya berkerut merenungkan apa yang baru saja kukatakan. Lalu ia akhirnya menggeleng pelan. “Aku benar-benar tidak mengerti mengapa Nika sampai membuat kebohongan seperti itu.”

Aku hanya diam. Tommy kembali mengamatiku. “Lauren,”

Aku mendongak menatapnya. Tommy kini menatapku dengan serius. “Aku tau kau tidak menyelidiki semua ini hanya untuk mencari alasan mereka menutupi pengasingan itu. Dan kau bukan orang yang langsung membuat dugaan hanya dengan alasan ringan seperti ini.” Ia memajukan badannya padaku, berusaha memperkecil jarak kami. “Kurasa kau pasti punya cerita lain—sesuatu yang belum kau beritahu padaku.”

Aku menatapnya beberapa lama, menyadari bahwa aku belum menceritakan tentang kesaksianku pada percakapan Sarah dengan seorang pria di pemakaman itu. Aku akhirnya mengangguk.

Lihat selengkapnya