ANGOR

Indah Thaher
Chapter #24

Percaya untuk Terbuka

Aku langsung mengenali mobil sedan hitam itu begitu muncul dari ujung jalan. Begitu mobil sedan itu berhenti tepat di depanku, wajah David langsung muncul di balik jendela mobil yang kini terbuka sepenuhnya. Aku membungkuk, kemudian memberikannya senyum kecil. Lalu mulai berjalan menghampiri mobil itu.

Begitu aku sudah masuk dan duduk di kursi penumpang, David kemudian bergerak mendekatiku. Sedetik kemudian ia terdiam.

“Kau hanya membawa tas kecil itu? Kau tidak membawa pakaian ganti atau apa pun?” tanyanya.

Aku mendongak, menyadari David berniat menaruh tas bawaanku ke kursi belakang. “Tidak. Aku hanya membawa seperlunya. Lagipula besok malam aku akan kembali ke Ibukota.”

David mengangguk. Ia kemudian mulai menjalankan mobil, meninggalkan tempat ini.

Beberapa saat tidak ada yang berbicara. Hanya suara angin yang terdengar melewati mobil ini.

“Kau sudah mengatakan pada Paman dan Bibimu kalau kau datang hari ini?” tanyanya beberapa saat kemudian.

Aku menatapnya sekilas. “Ya. Sudah.”

“Apa yang kau katakan pada mereka?”

Aku kini menatapnya dengan bingung. “Apa maksudmu?”

David mengangkat bahu. “Aku merasa Paman dan Bibimu tidak akan menerima dengan baik jika kau berkata bahwa kau tiba-tiba ingin berkunjung kembali ke Angor selama akhir pekan hanya untuk bertemu dengan Ibu Hilda, langsung setelah kau mendarat di kota ini.”

Aku terdiam, menyadari apa yang ia maksud. “Kau benar.” Setelah kedatanganku ke sini seminggu lalu, aku sudah yakin Paman dan Bibi menyadari sikapku yang menaruh perhatian besar pada kematian hilda dan juga hubungan Sarah dengannya. Tidak sulit untuk menyadari bahwa Paman dan Bibi juga sudah mengetahui betapa semua orang di kota ini mulai merasa tidak nyaman dengan apa yang aku coba lakukan.

David melirikku sekilas. “Jadi apa yang akan kau katakan pada mereka?”

Otakku berputar cepat. “Aku cukup bilang akan datang hari ini dan meminta mereka untuk tidak menungguku karena jam keberangkatanku masih belum pasti,” jawabku.

David mengangguk paham. Aku kembali mengamatinya. “Sejak kapan kau kembali ke sini?”

“Sejak dua hari lalu.”

“Kau menginap di Hotel Nurwangsa lagi?”

Ia menggeleng. “Tidak.” Ia melirikku sekilas, senyum kecil muncul di wajahnya. “Aku berusaha untuk tidak menarik perhatian sebanyak mungkin.”

Aku terdiam. “Karena kasus ini?”

“Ya.”

“Kalau begitu, kurasa hal itu juga berlaku padaku.”

“Tepat sekali.”

Aku menyadari sepenuhnya bahwa apa yang kulakukan sebelum ini tentu saja menarik perhatian orang-orang di kota ini. Saat itu, pikiranku hanya dipenuhi oleh rasa frustasi dan penyesalan tanpa memedulikan bahwa aku mungkin saja membahayakan korban-korban dari kasus ini.

Dan Sarah pun tentu saja sudah mengetahui bahwa aku mulai menyelidikinya. Kurasa tinggal sebentar lagi sampai aku benar-benar didatangi oleh Sarah sendiri.

Aku menyadari bahwa aku tidak takut jika hal itu benar-benar terjadi. Yang kutakutkan justru adalah ia mulai menyadari bahwa aku memiliki kesaksian yang lebih dari ia tahu, yaitu tentang percakapannya dengan pria besar bertato di pemakaman itu.

Tatapanku kembali tertuju pada David. “Jadi apakah sekarang kita benar-benar partner?” tanyaku.

Ia mendengus pelan. “Klien. Kau adalah klienku. Bukankah sejak awal kau sudah mempekerjakanku?”

Aku mengerutkan alis. “Jika aku klienmu, seharusnya kau langsung melakukan apa yang aku suruh dan mempercayaiku. Bukan malah menyelidiki latar belakangku.”

Lihat selengkapnya