Aku memasuki kamar itu dengan pelan, berusaha untuk tidak menimbulkan suara sedikit pun. Dan begitu aku sampai di dalam, pandanganku mulai berputar mengelilingi kamar itu.
Rasanya tidak sulit menyimpulkan kalau kamar ini adalah milik Hilda. Kamar itu tidak terlalu besar, namun terasa nyaman. Dan sama seperti bibiku, Ibu Hilda juga sepertinya tetap merawat kamar ini. Kamar ini terlihat bersih dan rapi, seolah Hilda tidak pernah pergi dari sini dan ia hanya sedang pergi keluar rumah sementara waktu.
Kamar itu bercatkan biru muda, senada dengan pintu kamarnya. Ada dua lemari buku tinggi yang berisikan banyak buku di sana, tepat di sebelah tempat tidurnya yang berada di pojok ruangan. Jendelanya ditutupi dengan tirai putih bercorak bunga. Meja kayu berada tepat di depannya. Beberapa buku masih tergeletak di atas meja dan juga perlengkapan alat tulisnya.
Aku tidak tahu apa yang sebenarnya ingin kulakukan di kamar ini. Aku hanya mengikuti sesuatu di dalam diriku yang mendorongku untuk masuk. Dan sepertinya, David juga mengerti itu. Tepat sebelum ia mengajak Ibu Hilda keluar, tatapan kami bertemu.
Aku mulai berjalan mendekati meja belajar itu dan beberapa saat tatapanku tertuju pada satu bingkai foto yang terpajang di ujung meja. Foto itu adalah foto Hilda bersama ibunya di ruang tamu ini, sedang tersenyum. Dan lagi-lagi aku tertegun melihat senyum itu di wajahnya.
Pandanganku kemudian teralihkan pada goresan aneh yang berada di rangka tempat tidur Hilda. Aku mulai mendekati tempat tidur, kemudian berjongkok untuk mencoba melihat lebih jelas goresan itu. Goresan itu berada paling tepi rangka, hampir tertutupi oleh meja belajar itu.
Dahiku mengerut, masih mencoba mengenali bentuk goresan itu. Goresan itu berjumlah banyak, menyebar, berjejer tidak beraturan dan berliku-liku. Aku mulai menyentuh goresan itu, merasakan beberapa dari goresan itu tidak terasa dalam.
Lalu jantungku kemudian berdesir kencang, begitu aku menyadari goresan itu terbuat dari apa.
Itu seperti bekas cakaran tangan.
Badanku seketika membeku, tidak bisa mencerna informasi ini selama beberapa saat. Aku kembali menyentuh goresan-goresan itu, mencoba merasakan bahwa apa yang baru saja kulihat ini adalah nyata dan benar-benar ada. Serat-serat kayu tipis yang mencuat dari goresan itu bisa kurasakan dengan jelas. Aku kembali tertegun, merasakan tanganku mulai gemetar.
Apa David juga menyadari hal ini? Bagaimana pun juga, ia pasti menyelidiki kamar ini selama beberapa saat ketika menemukan mayat Hilda?
Mungkin saja David menyadarinya dan melihat bekas goresan ini hanya sebagai bukti bahwa Hilda memang sedang depresi dan menyakar tempat tidur ini untuk pelampiasan. Sesuatu yang biasa dilakukan orang saat ia tidak ingin meneriakkan kepedihan yang ada di dalam hatinya. Aku sangat mengerti hal itu.
Tapi entah mengapa pikiranku tetap berteriak bahwa ada sesuatu yang lebih buruk dari goresan-goresan cakaran itu.
Dduum.
Suara dentuman pelan itu cukup berhasil membuatku terlonjak kaget. Aku mengerutkan alis, menyadari asal suara itu berasal dari balik tempat tidur. Suara itu terdengar seperti sesuatu yang terjatuh ke lantai.
Aku mulai menggeser meja belajar itu, membuat ruang agar aku bisa menjangkau tanganku ke balik kepala rangka tempat tidur. Aku mulai menggapai, mencari-cari apa pun yang baru saja terjatuh di sana.
Lalu tanganku meraba sebuah buku.
Aku mulai menarik keluar buku itu dari pojok rangka tempat tidur itu. Begitu keluar, aku menyadari bahwa itu adalah sebuah buku catatan berwarna coklat gelap yang sudah lusuh.
Buku itu tidak tertutupi penuh dengan debu, yang artinya buku ini tidak terlalu lama berada di balik tempat tidur ini. Aku mulai membuka buku itu dan mendapati buku itu hampir penuh dengan tulisan tangan yang kuduga adalah tulisan tangan milik Hilda.
Aku membaca halaman itu dan badanku langsung membeku.
15 Januari, 2008.
Ibu berpesan padaku untuk segera menemui Pak Arto begitu aku sampai di kampus. Dia bilang Pak Arto akan membantuku untuk mengurus beasiswa itu. Dan untunglah aku benar-benar menemukannya.
Rasanya menyenangkan untuk berbicara panjang dengan orang lain lagi. Aku tidak mengeluh. Aku sudah menduga bahwa mereka tidak akan memedulikan keberadaanku. Ada sebagian diriku yang merasa lega dengan kenyataan ini.
Setidaknya mereka tidak akan menatapku dengan sorot jijik itu lagi …
Aku menemukan jurnal milik Hilda.