“Kau juga sudah lama sekali tidak merayakan natal dan tahun baru di sini,” ujar bibiku.
Aku menoleh dan memberikan senyum padanya. Begitu aku memberikan kabar tentang keputusanku untuk berlibur, mereka langsung menanggapinya dengan gembira. Walaupun aku juga sadar ada keraguan dan sedikit was-was yang tersirat di mata mereka. Aku yakin mereka juga menyadari bahwa ada maksud lain dari kedatanganku kembali ke kota ini.
“Apa kau sudah makan siang?” tanya Paman, pandangannya masih tertuju ke depan jalan.
“Sebenarnya, aku bahkan belum sarapan,” akuku sambil terkekeh pelan.
Bibi kembali mendongak ke belakang, menatapku dengan raut khawatir. “Kau belum makan sejak pagi?” tanyanya syok.
“Apa sebaiknya kita mampir dulu? Di sekitar sini banyak restoran enak,” usul pamanku.
Aku tersenyum. “Kalau kalian tidak keberatan.”
Bibi kemudian mengibaskan tangannya pelan, mengisyaratkan kalau aku tidak perlu meminta pendapat mereka tentang hal semacam ini.
Paman menunjuk ke depan, ke sebuah restoran dengan papan nama berwarna biru gelap. “Kita makan di sana saja,” katanya.
Aku menyipitkan mata, mencoba membaca papan nama tersebut. Kemudian begitu mobil kami akhirnya mulai dekat, barulah aku bisa membacanya. Papan nama itu bertuliskan ‘Sali Nusi’ dan itu adalah sebuah restoran seafood.
“Restoran ini selalu ramai.” Paman menggeleng takjub. “Aku sendiri baru beberapa kali datang ke tempat ini,” sambungnya.
Tempat itu dari luar memang tampak ramai. Ada beberapa mobil yang terparkir di pinggir jalan, sedangkan tempat parkir kecil yang disediakan restoran itu—yang terletak di sebelahnya pun sudah penuh.
“Ayo, semoga saja tidak benar-benar penuh,” ajak Paman sambil mulai mematikan mesin mobil.
Aku membuka pintu mobil dan turun. Pandanganku kembali ke restoran itu. Rasanya seingatku, aku memang belum pernah ke tempat ini.
“Restoran ini baru buka 2 tahun lalu,” kata Bibi, seolah menjawab pertanyaan yang ada di pikiranku.
Aku mengangguk paham, kemudian mulai berjalan mengikuti Paman dan Bibi dari belakang. Begitu kami memasuki restoran itu, suara ramai pengunjung langsung memenuhi pendengaranku. Tempat ini benar-benar penuh pengunjung. Tapi mataku tetap mulai mencari-cari tempat meja yang kosong.
Kemudian seorang pelayan wanita muda berjalan melewati kami, sedang sibuk membawa nampan berisi piring sisa.
“Permisi,” kataku begitu ia berjalan tepat melewatiku.
Si Pelayan itu langsung mendongak dan aku menyadari ada sorot kaget muncul di matanya saat melihatku.
“Bisa tolong carikan kami meja kosong, untuk 3 orang,” ujarku seramah mungkin.