ANGOR

Indah Thaher
Chapter #28

Tulisan Sepi

3 Juli 2005

 

Ini tulisan pertamaku. Rasanya sangat aneh melakukan ini. Tapi ibuku menyuruhku untuk menulis jurnal ini. Dia bilang ini akan menjadi kenangan dan cerita hidupku nanti saat aku sudah memiliki anak.

Tapi aku sudah tau alasan sebenarnya mengapa Ibu memintaku menulis jurnal. Dia hanya ingin aku menuangkan semua perasaan yang tenggelam dalam diriku selama ini. Aku memang sering bercerita pada ibuku, tapi aku yakin dia juga menyadari masih banyak hal yang ingin kupendam juga darinya.

Kami hanya saling menyayangi, karena itulah aku dan Ibu masih saling memendam perasaan yang sebenarnya. Kami tidak ingin menambah beban masing-masing.

Hari ini hari pertamaku masuk SMA. Sejak pagi tadi, Ibu sudah bersikeras untuk membiarkannya ikut mengantarku ke sekolah. Sangat sulit hingga akhirnya aku berhasil meyakinkannya untuk tidak usah khawatir. Aku selalu berkata padanya bahwa aku baik-baik saja dan aku tidak takut pada mereka.

Tapi tentu saja aku berbohong.

Kukira perasaan takut ini akan berhenti begitu usiaku sudah dewasa. 17 tahun. Tapi tetap saja—aku justru semakin membenci diriku karena membiarkan ketakutan itu hidup di dalam diriku berlama-lama.

Aku masih berharap bahwa semua akan berubah begitu memasuki masa SMA. Dan aku tidak perlu lagi merasa ketakutan setiap kali aku menyadari keberadaan mereka.

Aku merasa sangat bodoh setiap kali harapan mustahil ini muncul di pikiranku.

Sepanjang hari, seperti biasa, aku berusaha untuk tidak terlihat oleh siapa pun. Untunglah hari ini semua siswa baru dipulangkan siang hari, hanya mengikuti upacara penerimaan, mendengar pidato kepala sekolah dan acara penyambutan lainnya.

Saat istirahat, aku berusaha untuk menjaga jarak jauh dari kerumunan Sarah dan teman-temannya. Aku melihat bahwa sesekali Sarah memang melirikku. Dan dengan sekejap saja badanku langsung gemetar ketakutan, menunggunya mendatangiku dan melontarkan kata apa saja dari mulutnya. Kata apa saja.

 Begitu acara penyambutan itu selesai, aku benar-benar merasa lega dan tidak sabar untuk cepat-cepat pulang, kembali ke rumah dan menjauh dari Sarah dan teman-temannya.

Tapi mereka tentu saja tidak akan melepasku begitu saja, bahkan sehari pun.

Saat aku baru saja berjalan beberapa meter dari gerbang masuk, Sarah tiba-tiba menarik tasku dari belakang dengan cepat. Saat aku terjatuh dengan suara keras dan menyakitkan, mereka semua langsung tertawa terbahak-bahak. Saat aku berusaha berdiri, yang lain akan menarik tasku kembali hingga aku jatuh. Begitu berulang kali, entah berapa lama. Lalu seperti biasa, Sarah kemudian meneriakkan ‘Tolol’ dan ‘Tidak berguna’ di telingaku dengan sekencang-kencangnya.

Dan seperti biasa, aku memejamkan mata lalu merasakan sedikit demi sedikit mulai mempercayai bahwa panggilan itu mungkin memang benar.

Aku ingat saat itu lagi-lagi Sarah tersenyum. Dan aku sadar ia selalu melakukan itu setiap kali dia melihat wajah takutku muncul. Aku yakin dia sadar kalau aku juga merasa perkataannya padaku memang benar.

Yang bisa kulakukan saat itu hanya menahan tangis.

Karena aku tau, Sarah justru akan menamparku jika aku menangis dan berteriak di telingaku tentang betapa munafiknya air mataku itu. Seperti yang dia lakukan sejak dulu.

 

 

20 Juli 2005

 

Ibu menyadari luka di siku kiriku. Dan lagi-lagi aku berbohong. Aku tidak akan pernah mengaku kalau luka itu diberikan oleh orang yang sama yang memberikanku memar di lututku beberapa minggu yang lalu.

Hari ini rasanya aku benar-benar membenci diriku.

Mungkin yang dikatakan Sarah itu benar. Aku tidak berguna, sampah dan gadis tolol. Mungkin memang ada alasan yang pantas mengapa Sarah selalu melontarkan hinaan-hinaan dan pukulan-pukulan itu padaku sejak kami berumur 7 tahun.

Mungkin dia memang benar.

Terkadang ingin rasanya aku mengakui semuanya pada Ibu. Bukan karena aku takut Ibu mengetahui hal yang sebenarnya.

Tidak.

Hanya … karena aku sadar tidak ada gunanya juga aku tetap berbohong soal ini padanya.

Aku tau Ibu sendiri sudah mengetahui sejak dulu tentang perlakuan Sarah padaku. Sejak aku berumur 10 tahun, saat aku pulang ke rumah tanpa sepatu.

Ibu juga berbohong dan aku tidak menyalahkannya. Karena aku tau, bahkan sekali pun aku sudah memiliki bukti atas semua yang dia lakukan padaku, Ibu tetap tidak akan berani melaporkannya.

Ibu dan juga aku …

Lihat selengkapnya