ANGOR

Indah Thaher
Chapter #29

Wanita-Wanita

Besok pagi, saat aku terbangun, aku hampir lupa dengan keberadaanku di rumah ini. Suara kicauan burung samar-samar membuatku terbangun. Aku mulai menyibakkan selimut dan bangun sambil menatap ke sekeliling ruangan dengan tatapan kosong, tiba-tiba saja sekelebat rasa sepi muncul menyelimutiku. Tapi cepat-cepat kutepis pikiran itu dan anehnya, aku benar-benar bisa melakukannya.

Aku bergegas bangkit dari sofa, kemudian berjalan menuju dapur untuk membuat segelas kopi hangat. Beberapa menit kemudian, aku kembali ke sofa sambil meneguk kopi tersebut. Begitu kembali duduk di sofa, mataku kembali tertuju pada buku jurnal lusuh di hadapanku itu.

Tidak pernah rasanya aku membenci diriku seperti saat aku membaca tulisan Hilda. Setiap kata yang tertulis di sana membuat badanku lemas penuh penyesalan. Aku sama sekali tidak pernah memikirkan bagaimana perasaan Hilda saat kami melakukan semua hal itu padanya. Tidak pernah sekali pun. Aku hanya tidak pernah peduli.

Dorongan untuk kembali melanjutkan membaca jurnal itu muncul. Namun, niat itu harus kutahan sementara. Ada banyak hal yang perlu kulakukan dulu. Pandanganku kembali tertuju ke dapur.

Dan aku harus membeli bahan makanan dulu untuk persediaanku selama tinggal di sini. Karena sepertinya aku tidak akan diperbolehkan makan di restoran umum lagi dengan tenang.

Aku menatap telpon rumah selama beberapa saat. Siapa pun yang menelponku tadi malam, itu jelas-jelas bukan dari Paman dan Bibi atau pun David. Setelah telpon itu ditutup, aku langsung meningkatkan kewaspadaanku.

Perasaanku mengatakan, siapa pun yang menelponku saat itu pasti memiliki dua tujuan. Tujuan pertama, ia ingin mengecek apakah aku sedang ada di rumah ini atau tidak. Yang kedua, itu sebuah teror untuk menakut-nakutiku.

Sebelum pergi, aku memastikan buku jurnal itu kusimpan di tempat yang tersembunyi lalu mengunci rumah rapat-rapat.

Sampai di luar rumah, aku menatap ke sekeliling dan mendapati di sekitarku kosong dan sepi seperti biasa. Rumah Pak Wuno yang berada tidak jauh dariku juga tampak sepi. Tapi aku melihat mobilnya masih terparkir di pekarangan rumahnya. Aku baru menyadari bahwa aku belum menyapanya sejak kedatanganku ke sini. Tapi kurasa, kedatanganku ke rumahnya tidak terlalu diharapkan lagi kini.

Aku kemudian membuka pintu mobil dan mulai menghidupkan mesin. Perjalanan menuju supermarket kota ini membutuhkan waktu sekitar 10 menit. Dan di hari Minggu pagi ini, masih tidak banyak mobil yang sudah berkendara di jalan.

Begitu aku sampai di gedung supermarket itu, aku langsung memarkirkan mobilku tidak jauh dari pintu masuk. Kemudian mengambil dompet dan bergegas masuk ke dalam supermarket.

Hanya butuh beberapa menit untuk mendapatkan semua yang kuperlukan untuk persediaan. Lagipula aku tidak pernah makan dalam porsi yang besar. Itu, dan juga karena sejak tadi aku menyadari beberapa orang di supermarket ini terus menatapku dengan sorot tidak suka.

Begitu sampai di kasir, aku mulai mengantri di meja kasir paling ujung. Tatapan tidak suka itu masih terus mengikutiku dan aku tetap memasang wajah tenang, berusaha tidak terlihat terpengaruh oleh situasi ini.

Kemudian giliranku tiba, Si Kasir langsung menatapku penuh. Aku menyadari sorot enggan yang sama seperti pelayan restoran saat aku datang bersama paman dan bibiku beberapa hari lalu. Kasir perempuan itu tidak berumur lebih dari 40 tahun, sedikit gemuk. Ia mulai mengeluarkan semua barang belanjaanku dan mulai menghitungnya dengan wajah diam yang enggan.

Aku menunggu sambil mulai menatap ke sekelilingku lagi.

Kemudian tatapanku tertuju pada seorang pria kasir yang berada dua meja di depanku. Sama seperti kasir lainnya, ia sedang sibuk memindahkan barang belanjaan pelanggan dan menghitungnya dengan cepat.

Aku tidak tau mengapa pandanganku tertuju lama padanya. Wajahnya sedikit familiar. Tapi aku sama sekali tidak bisa mengingat siapa, dimana dan kapan aku pernah melihatnya sebelum ini. Aku tahu aku tidak mengenalnya. Tapi aku tahu aku pernah melihatnya.

Ia adalah pria berumur 40an berambut cepak, memiliki tinggi semampai dan sedikit berotot. Wajahnya tirus, dengan jenggot gelap dan mata yang tajam. Tidak ada senyum di sana, dan sepertinya memang tidak pernah muncul di wajahnya. Wajah itu kaku dan memiliki aura penyendiri.

Kemudian ia tiba-tiba mendongak dan kami beradu pandang beberapa saat. Dan rasa familiar yang aneh itu semakin membesar dan menyelimutiku dengan cepat. Ia juga menatapku dengan sorot tidak suka, tapi tatapan itu sedikit berbeda.

Seolah ia memiliki alasan yang tepat mengapa ia tidak menyukaiku.

“Totalnya 300.000.”

Aku melepas tatapanku dari pria itu dan menoleh kembali pada Si Kasir di sebelahku. Aku bergegas membayar dan langsung membawa semua barang belanjaanku. Sebelum berjalan pergi, aku kembali melirik ke arah pria kasir itu lagi dan menyadari ia masih menatapku dengan sorot yang sama.

Begitu aku sampai di luar, aku langsung berjalan cepat menuju mobilku. Aku memasukkan semua barang belanjaanku ke bagasi. Kemudian ponselku tiba-tiba berbunyi. Aku langsung mengeluarkannya dan alisku langsung mengerut membaca pesan itu.

Lauren, ini aku Sarah. Bisa kita bertemu hari ini?

Lihat selengkapnya