ANGOR

Indah Thaher
Chapter #30

Sang Putri

Aku menatapnya dengan tenang, menunggunya mengucapkan sesuatu. Tapi sama sepertiku, ia hanya diam dan menatapku dengan sorot mata yang sama. Jadilah selama beberapa detik kami hanya saling bertatapan.

Helaan napas muncul dari mulut Sarah. Ia menggeleng pelan. “Aku tau apa yang kau lakukan dengan David. Dia menemuiku kemarin.”

Aku tetap diam, menunggunya melanjutkan penjelasannya. “Dia bilang dia akan membuka kasus Hilda ini kembali. Dan dia memintaku untuk bekerja sama, memberikan informasi juga menjawab pertanyaan-pertanyaan darinya,” sambung Sarah.

“Kau keberatan?” tanyaku.

Sarah menatapku datar, kemudian ia tersenyum kecil. “Aku sudah katakan pada David, bahwa kemungkinan kasus ini tidak akan mungkin bisa dibuka sangatlah besar. Tapi dugaanku—dan aku juga yakin kalian sudah memikirkannya, kalian akan tetap menyelidiki kasus ini bahkan tanpa ada yang berdiri di belakang kalian.”

“Dan kau keberatan?” tanyaku lagi.

“Tentu saja aku keberatan—dan bukan karena aku juga terlibat dalam kematian Hilda seperti yang kalian tuduhkan padaku. Bukan, aku keberatan bukan karena itu,” jawabnya.

Aku mengerutkan alis, tidak suka melihat betapa tenangnya ia saat mengatakan bahwa ia tidak terlibat dalam semua hal ini. Tapi aku tetap menahan diri, membiarkannya melanjutkan perkataannya.

Ia masih menatapku dengan sorot tenang. “Aku keberatan karena apa yang kalian lakukan saat ini hanya akan melukai keluarga Hilda dan keluargaku,” sambungnya.

“Apa?”

Ia menghembuskan napas panjang dengan perlahan, matanya kini bergerak tidak nyaman beberapa saat. “Kau tau apa maksudku, Lauren.”

“Permisi.” Si pelayan tiba-tiba saja sudah berdiri di samping meja kami, dengan nampan berisi pesanan Sarah. Sarah langsung menoleh dan dengan sekejap wajahnya kembali rileks penuh senyum ramah. Ia menerima segelas teh panas itu dan langsung mulai mengaduknya dengan perlahan.

Aku mengamatinya yang kini sedang mencampurkan gula pasir ke gelasnya. Ia mengaduk kembali dan mulai meneguk tehnya tanpa merasa terganggu sedikit pun.

“Aku tidak tau apa maksudmu, Sarah. Jelaskan padaku,” ujarku lagi dengan nada pelan.

Ia menaruh kembali segelas teh itu di meja, kemudian tatapannya tertuju padaku. Sorot tenang dan dingin itu kembali muncul dengan cepat.

“Yang kau lakukan saat ini hanyalah mengungkit luka lama pada keluarga Hilda tentang kematiannya yang tragis. Dan tuduhanmu itu, bahwa kematian Hilda bukan bunuh diri, tapi sebuah pembunuhan, justru hanya memperburuk keadaan. Kau tidak hanya membuat luka baru di keluarga Hilda tapi juga di keluargaku. Nama baik keluargaku menjadi taruhannya. Dan ini semua bahkan hanya baru sebatas dugaan mentah tanpa ada bukti apa pun,” jelasnya.

Aku mendengus. “Sejak kapan kau memberi perhatian pada keluarga Hilda?” Perkataannya tentang menjaga nama baik keluarganya mungkin bisa kuterima dengan mudah. Tapi, tentang keluarga Hilda?

Pikiranku kembali dipenuhi dengan isi jurnal Hilda yang masih berbekas sangat segar di otakku. Semua hal itu kembali menimbulkan rasa sedih dan frustasi yang sangat besar dari dalam diriku.

Sarah terdiam beberapa lama. Kemudian akhirnya ia tersenyum, menyadari apa yang sedang aku bicarakan saat ini. Ia menggeleng pelan, seolah tidak mengerti mengapa tiba-tiba aku menyinggung topik ini dengannya.

“Aku tidak ingin membicarakan hal itu denganmu sekarang,” katanya.

“Kenapa? Kukira ini satu-satunya topik yang kita berdua paling pahami,” sahutku.

Ia kembali terdiam beberapa saat. Tapi tetap tidak ada perubahan pada raut wajahnya.

“Permasalahan utamanya di sini adalah dugaan awam kalian yang sangat merugikan pihakku. Ini tidak ada hubungannya dengan masa lalu Hilda, Lauren,”

Lihat selengkapnya