ANGOR

Indah Thaher
Chapter #31

Pria Itu

21 Januari 2006

 

Hari ini dia datang lagi. Dan kedatangannya masih membawa rasa aman padaku. Walaupun hanya beberapa saat, karena dia sendiri tidak pernah berlama-lama di sini. Tapi dia selalu memperlakukanku dengan baik, seperti anak-anak lainnya. Dan ia selalu tidak lupa membawakanku hadiah.

Sejak aku berumur 7 tahun, kedatangannya selalu kutunggu. Terutama setelah Ayah dipindahtugaskan ke luar pulau dan sangat jarang pulang ke rumah. Kepulangan Ayah setiap tahun bahkan bisa kuhitung dengan jari. Aku tidak mengeluh. Aku tahu Ayah bekerja keras di sana. Dan aku menyayangi Ayah dan sangat merindukannya setiap waktu.

Tapi mungkin justru karena itulah kedatangan pria itu ke rumah kami bisa mengobati kerinduanku pada Ayah. Mungkin memang sejak dulu aku sudah mulai menganggapnya seperti ayahku sendiri.

‘Pria itu’. Sepertinya kebiasaanku untuk tidak menyebutkan namanya bahkan menular sampai saat aku menulis jurnal seperti ini. Sejak dulu, Ibu selalu melarangku untuk menyebut namanya pada siapa pun dan kapan pun. Saat aku bertanya alasannya, Ibu selalu berkata dia hanya tidak ingin semua orang salah paham dengan kedatangannya ke sini.

Mereka hanya berteman. Aku tau itu.

Setiap kali pria itu datang ke rumah, Ibu selalu memintaku untuk berada di kamar di lantai atas dan tidak keluar sampai Ibu memanggilku kembali. Itu tanda bahwa mereka akan memulai percakapan mereka dan aku sadar mereka jelas-jelas tidak ingin aku menganggu diskusi mereka tersebut.

Apa pun yang mereka bicarakan, aku yakin itu sangat serius. Karena aku selalu bisa melihat perubahan wajah ibu yang tiba-tiba terlihat kelam begitu ia memintaku untuk masuk ke kamar.

            

 

19 Maret 2006

            

Kurasa sudah saatnya aku mengakui bahwa pria itu memang menyukai Ibu dan bukan lagi sebagai teman. Selama ini aku tetap berpura-pura untuk tidak menyadarinya.

Dan kurasa sudah ada beberapa orang yang menyadari hal ini.

Dugaanku ini selalu terbesit setiap kali aku melewati pagar tembok yang beberapa bulan lalu kucat diam-diam. Bekas coretan itu masih tidak terlihat jelas. Tapi sampai sekarang, aku masih mengingat jelas bentuk dari coretan itu sendiri.

‘Dijual murah. Lengkap dengan pemiliknya.’

Orang yang menuliskan coretan itu berpikir kalau ibuku adalah pelacur.

Dia pasti melihat pria itu masuk ke rumahku dan orang-orang yang tidak terlalu mengetahui situasi sebenarnya akan tetap salah paham dan mengartikan bahwa kunjungan pria itu ke rumah adalah sebuah bentuk perselingkuhan yang dilakukan ibuku.

Yang kutakutkan ibuku memang benar-benar terjadi.

Dan aku sama sekali tidak tau bagaimana cara mengembalikan nama baik ibuku. Tapi lagi pula, siapa yang akan mempercayai kami?

            

 

1 April 2006

 

Dugaanku benar. Yang menulis coretan di pagar tembokku beberapa bulan lalu adalah Sarah dan teman-temannya.

Aku tidak sengaja mendengar pembicaraan mereka di toilet hari ini.

Rasanya jantungku seperti akan meledak ketika mereka tiba-tiba menyebut namaku. Kukira mereka mengetahui keberadaanku di kamar toilet dan hendak melaksanakan aksi mereka seperti dulu lagi. Tapi untungnya tidak. Aku masih menjadi Hilda yang keberadaannya tidak pernah ada di mata mereka.

Terkadang aku masih merasa mereka mengerjaiku diam-diam. Seperti buku catatanku yang tiba-tiba berada di tong sampah saat aku tidak sengaja meninggalkannya sepulang sekolah.

Tapi setidaknya aku masih bersyukur mereka tidak lagi memukuliku atau melontarkan teriakan hinaan itu di telingaku lagi.

Saat itu aku mendengar Sarah sedang mengatakan sesuatu tentang pacar Vera. Ia menyebut Vera sebagai peliharaan pria tua kesepian. Semua mulai tertawa, termasuk Vera sendiri. Lalu tiba-tiba Nika berkata, “Kau akan cocok tinggal bersama keluarga Hilda.” Kemudian Sarah tertawa terbahak-bahak.

Lihat selengkapnya