ANGOR

Indah Thaher
Chapter #32

Seberang Jalan

“Telpon teror. Hanya itu,” jawabku lagi.

David kemudian berjalan menuju meja telpon itu, kemudian ia mengambil gagang telpon itu dan mengembalikannya ke tempat semula. “Dia mengatakan sesuatu padamu?” tanyanya.

“Dia menyuruhku pergi.”

“Kau mengenali suaranya?” tanyanya lagi. Ia kini berbalik dan bersandar di dinding tepat di sebelah meja telpon itu. Tatapannya kini tertuju penuh padaku.

Aku menggeleng, kembali mengingat nada suara Si Penelpon itu di kepalaku. “Suaranya sama sekali tidak familiar di telingaku. Tapi yang jelas dia seorang pria. Suaranya rendah, dan sedikit serak—seperti perokok.”

“Kau bisa menebak kira-kira umurnya berapa?”

Alisku mengerut, berpikir keras. “Kurasa … di atas 40 tahun,” jawabku akhirnya.

Suasana hening beberapa saat. Kemudian David menghembuskan napas. “Aku tidak yakin kalau kau akan aman di rumah ini sendirian.”

Aku hanya diam, sadar bahwa perkataannya memang benar. Tapi aku juga sadar bahwa bahaya itu akan terus mengikutiku dimana pun aku tinggal, selama aku masih ada di kota ini. Semua orang di kota ini sudah terlanjur tidak menyukaiku dan mengecapku sebagai pengkhianat. Jadi kurasa tidak ada gunanya untuk pindah dari rumah ini.

Dan aku jelas-jelas tidak akan mungkin kembali ke rumah Paman dan Bibi.

“Paman dan bibimu menanyakanmu tadi,” ujar David, seolah sedang menebak apa yang sedang kupikirkan.

Aku menggeleng pelan. “Kau tau aku tidak mungkin kembali pada mereka. Aku tidak akan melibatkan mereka dalam masalah ini,” gumamku.

David mengangguk. “Aku tau. Kurasa itu memang yang terbaik,” sahutnya. Ia kembali menghela napas. “Dengar, bawa terus ponselmu dimana pun kau berada. Dan jika kau mendengar atau melihat sesuatu yang mencurigakan, langsung hubungi aku detik itu juga. Kau mengerti?” perintahnya.

“Baiklah.”

“Aku akan berusaha untuk terus mengecekmu di sekitar sini setiap hari,” sambungnya dengan nada yakin.

Mau tidak mau senyumku muncul, merasakan kelegaan setelah mendengar janjinya. Aku tahu bahwa semua bahaya yang mungkin mengikutiku sebenarnya tidak terlalu membuatku takut setengah mati. Karena bagaimana pun juga, aku yang dari awal memancing masalah ini keluar. Tapi tetap saja, mengetahui bahwa David akan berdiri bersamaku dalam hal ini benar-benar membuat bebanku terangkat. Sebagian besar ketegangan dalam diriku seperti lenyap.

“Terima kasih, David,” ujarku sungguh-sungguh.

Ia menatapku sesaat. “Kau perempuan. Tentu saja aku akan melindungimu.” Suaranya terdengar jauh lebih lunak sekarang.

Aku mengingat kembali percakapan kami beberapa hari yang lalu tentang betapa selama ini orang-orang justru merasa terintimidasi dengannya. Rasanya perlahan-lahan aku mulai mengerti mengapa. David bukan tipe pria yang memperlihatkan kepeduliannya dengan sangat jelas. Ia bukan tipe orang yang ingin berkoar-koar untuk mendapatkan pengakuan atau perhatian. Dan mungkin justru karena itulah aku merasakan kenyamanan yang aneh saat bersamanya.

“Kurasa kau sudah kembali nyaman berada di rumah ini lagi,” ujarnya. Matanya kini bergerak mengamati wajahku.

Aku mengangguk, kemudian menatap ke sekeliling ruangan ini. “Kurasa. Aku sangat berharap bisa mengenang mereka dengan tenang lagi.” Lalu tatapanku kembali padanya. “Hei, kau mau minum sesuatu?”

“Kopi saja.”

“Tunggu sebentar, akan kubuatkan.” Aku mulai bangkit dan berjalan menuju dapur. David kini mulai berjalan sambil menatap ke sekeliling rumah. Sembari menunggu air mendidih, aku ikut menatap David yang kini berjalan menuju ujung tangga. Matanya menatap ke langit-langit, mencoba menengok ke lantai atas.

“Kau tidak pernah tidur di atas?” tanyanya. Aku sadar ia menyadari lantai atas yang gelap gulita.

“Tidak. Sejak dulu aku memang lebih suka tidur di sofa,” akuku.

Ia menoleh. “Kenapa?” tanyanya penasaran.

Lihat selengkapnya