ANGOR

Indah Thaher
Chapter #33

Obsesi

“Berselingkuh?”

Aku mengangguk. “Dulu saat aku SMA, ada rumor yang beredar kalau Ibu Hilda berselingkuh dengan seorang pria.” Aku menunduk, sejenak ragu untuk melanjutkan. “Ingat coretan di tembok pagar rumah Hilda yang kutunjukkan padamu tempo hari?” tanyaku akhirnya. Aku menatapnya dengan sorot malu. Rasa penyesalan itu kembali muncul dan ingatanku tentang apa yang ditulis oleh Hilda di jurnalnya tentang hal ini semakin membuatku malu.

“Ya. Aku ingat,” sahut David.

Aku diam beberapa saat, kemudian menarik napas pelan untuk melanjutkan. “Di antara kami, Sarahlah yang paling mengetahui detil tentang cerita perselingkuhan ini. Dan saat dia menyuruh kami membantunya untuk membuat coretan itu di rumah Hilda, awalnya kami tidak terlalu mempermasalahkan ejekan tersebut. Kukira itu hanya ejekan-ejekan remeh yang diberikan Sarah untuk mempermainkan Hilda—seperti yang biasa di lakukan selama ini.” Aku melirik David sekilas, menyadari ia masih menungguku untuk melanjutkan. “Tapi aku ingat Sarah pernah berkata kalau pria selingkuhan Ibu Hilda adalah seorang buruh bangunan yang bekerja di gedung dekat Balai Kota.”

“Buruh bangunan?”

“Ya. Kami tidak pernah ragu dengan informasi yang didapatkan Sarah. Karena selama ini dia selalu mendapatkan informasi yang benar dari orang suruhan ayahnya, kau tau.” Aku meringis tidak nyaman dengan kebenaran ini. “Dan ini adalah sebuah aib dari keluarga Hilda, jadi tentu saja dia akan melakukan apa saja untuk membuktikan kebenaran ini dengan sukarela,” sambungku.

Suasana hening beberapa saat.

“Jadi maksudmu, buruh bangunan ini adalah orang yang sama dengan pria yang kau temui di supermarket kemarin?” tanya David.

Aku mengangguk diam.

“Sarah pernah menunjukkan padamu bahwa pria selingkuhan Ibu Hilda adalah buruh bangunan itu?”

Lagi-lagi aku mengangguk. “Ya, dulu. Sarah pernah mengajak kami melihat dari jauh tempat buruh bangunan itu bekerja. Dan begitu para buruh bangunan itu sedang duduk beristirahat, Sarah langsung menunjukkan pada kami orang yang menjadi selingkuhan Ibu Hilda.”

“Dan menurutmu pria ini adalah pria yang sama?” tanyanya memastikan kembali.

Alisku berkerut, kembali mengingat lebih jelas. “Wajahnya sangat mirip dengan pria yang kutemui di supermarket.” Aku terdiam sesaat. “Dan tidak hanya sekali itu aku melihatnya. Selama setahun berikutnya, aku selalu melewati gedung itu setiap kali aku akan berangkat ke tempat kursus.”

“Dia selalu duduk di pinggir jalan, merokok dengan masih menggunakan helm proyek,” kataku sambil menerawang membayangkan ingatan itu di kepalaku. Aku menghela napas. “Kurasa itu yang membuatku merasa familiar dengan wajahnya,” sambungku dengan pelan.

Tidak ada yang berbicara selama beberapa saat.

“Apa kau pernah melihat pria ini dengan Ibu Hilda?” tanya David kemudian.

Alisku berkerut, kembali mencoba mengingat-ingat lagi. Tapi rasanya aku benar-benar tidak memiliki ingatan tentang itu.

Itu—atau hanya aku yang memang tidak memperhatikan mereka.

“Tidak. Kurasa aku tidak pernah melihat mereka bersama,” jawabku akhirnya.

Aneh rasanya, tapi keyakinanku bahwa mereka benar-benar berselingkuh masih belum hilang sedikit pun.

Karena cerita yang dituliskan Hilda di jurnalnya tersebut berkata lain.

Pikiranku kini kembali tertuju penuh pada jurnal Hilda. Ceritanya sendiri tentang Pria Itu juga sangat mudah dihubungkan dengan dugaanku tentang pria di supermarket tersebut. Hilda jelas-jelas mengatakan kalau pria yang sering mengunjungi rumahnya itu memang benar-benar menyukai ibunya dan di saat yang bersamaan, Sarah satu-satunya yang mengetahui identitas pria itu.

Dan harus kuakui, jika bukan karena jurnal Hilda, aku sendiri juga akan menganggap semua yang diceritakan Sarah tentang perselingkuhan Ibu Hilda dengan buruh bangunan itu hanya bualan saja.

“Tapi jika pria ini memang selingkuhannya Ibu Hilda, bukankah seharusnya Sarah juga mengenalinya?” tanya David. “Kau bilang, saat di taman pemakaman itu, anak buahnya memperlihatkan sebuah foto seorang pria yang tertangkap berkeliaran di depan rumah Hilda malam itu. Jika kita memang membicarakan pria yang sama, bukankah seharusnya Sarah juga mengenali pria ini sama sepertimu?”

Aku terdiam, merasa bahwa perkataan David memang ada benarnya. Aku mengerut bingung, mencoba kembali memikirkan semua ini dengan hati-hati. Kupejamkan mataku, memanggil kembali ingatan saat aku mendengar percakapan antara Sarah dan pria besar itu di taman pemakaman.

Mungkinkah foto pria yang dilihat Sarah bukanlah buruh bangunan ini? Mungkin ada pria lain—selain buruh bangunan ini—yang juga berkeliaran di malam yang sama di sekitar rumah Hilda?

Tidak. David sudah pernah berkata bahwa hanya pria ini yang terlihat berkeliaran di rumah Hilda malam itu. Lagipula …

Aku membuka mata. “Sarah berkata dia merasa mengenal pria itu, tapi dia tidak bisa mengingat siapa dia,” ujarku akhirnya. “Sama sepertiku, baginya wajah pria itu terlihat familiar,” sambungku.

David menatapku beberapa saat. “Rumor itu—rumor perselingkuhan itu, apa sampai sekarang mereka masih membicarakannya?” tanyanya padaku.

Lihat selengkapnya