ANGOR

Indah Thaher
Chapter #34

Orang Baru

Suasana kembali hening beberapa saat. Tidak ada yang mengeluarkan suara sedikit pun dan suara detik jarum jam kembali memenuhi seisi ruangan ini.

Kurasa apa yang baru saja dikatakan oleh Tommy menimbulkan dugaan baru dalam kasus ini. Dugaan gila itu sudah terbentuk penuh di dalam otakku tanpa bisa kuhindari. Dugaan itu juga yang mulai membuatku bingung dengan semua hal ini.

Kemungkinan bahwa Pak Wira melakukan sesuatu pada Hilda malam itu sangatlah besar. Dan ia memiliki motif yang sangat besar. Bukti dari jurnal Hilda bahwa ia mencintai Ibu Hilda dan perselingkuhan itu terjadi, kemudian usaha Hilda yang ingin menghentikan semua itu sesuai dengan apa yang baru saja dikatakan Tommy. Dan hubungan mereka yang terputus itulah yang akhirnya membuat Pak Wira berubah menjadi sosok penyendiri seperti sekarang.

Dan ia masih memiliki dendam pada Hilda karena hal itu. Sekali pun kejadian itu sudah lewat bertahun-tahun lalu.

“Halo?” Suara Tommy kembali memecah keheningan.

David kemudian kembali mendekat pada ponselnya. Dan aku menyadari masih ada bekas kerutan di dahinya.

“Tommy, apa kau pernah berbicara langsung dengannya dulu?” tanya David.

“Ya. Dulu sewaktu SMA aku pernah magang di perusahaan konstruksi itu—perusahaan Ayah, dan lumayan dekat dengan para pekerja di sana,” jawabnya. Aku masih bisa mendengar nada ketus itu saat ia berbicara tentang ayahnya. Dan aku yakin David juga menyadarinya. Tapi ia tetap memasang wajah biasa.

“Bagaimana sikapnya?”

“Siapa? Pak Wira?”

“Ya.”

Tommy menghembuskan napas perlahan. “Tidak ada yang aneh dengannya. Dia pria yang baik, ramah dan selalu bisa diandalkan selama bertugas. Dia tidak pernah berbuat ulah,” jelas Tommy.

Kami kembali diam beberapa saat.

“Mungkin aku memang tidak terlalu mengenalnya,” ujar Tommy kemudian. Suaranya kini terdengar serius. “Terutama setelah dia berhenti dari perusahaan Ayahku. Tapi jika memang rumor-rumor itu—tentang perselingkuhan itu benar dan itu yang membuatnya berubah. Kurasa kecurigaan bahwa ia terlibat dalam kematian Hilda sangat masuk akal. Walaupun rasanya aku masih tidak bisa membayangkan pria itu benar-benar membunuh Hilda,” gumam Tommy.

“Kurasa kita bisa memastikannya begitu aku menemuinya besok,” ujar David.

“Akan kukirimkan alamatnya padamu, kurasa dia belum pindah dari rumah itu.”

“Baiklah. Terima kasih, Tommy. Dan terima kasih untuk waktumu.”

“Tidak masalah. Aku senang bisa membantu,” sahutnya.

Begitu telpon itu ditutup, selama beberapa saat kami kembali diam dan sibuk dengan pikiran kami masing-masing. Aku kemudian meraih gelas kopiku dan merasakan kopi itu kini sudah dingin. Aku tetap meneguk kopi tersebut, membiarkan kopi itu mengalir dalam kerongkonganku.

Kepalaku terasa berdenyut dan rasanya semua ini berhasil membuat badanku lelah dengan cepat. Aku memejamkan mataku dengan erat lalu menarik napas dalam-dalam.

“Kurasa kau butuh tidur sekarang,” ujar David.

Aku mendongak, menatapnya sejenak lalu tergelak pelan. “Apa sejelas itu terpampang di wajahku?”

David mengamatiku beberapa saat, lalu ia tersenyum miring. “Ya. Sangat jelas.”

“Baiklah, kurasa aku akan menuruti nasihatmu.”

Ia mengangguk. “Kalau begitu, sebaiknya aku pulang sekarang.”

Aku kini terdiam. Tiba-tiba saja kembali teringat dengan perkataannya beberapa jam lalu tentang janjinya yang akan melindungiku dan mengecek keadaanku setiap saat.

Ide itu begitu saja muncul di dalam benakku tanpa bisa kutahan sedikit pun. Aku mengamati David yang kini sudah mulai berjalan menuju sofa untuk mengambil jaket hitam yang ia taruh di sana. Ia kini mulai mengambil lembaran foto dan ponselnya yang sejak tadi tergeletak di meja ruang tamu.

“Kau bisa menginap di sini kalau kau mau,” ujarku tanpa sadar.

Tangannya langsung berhenti bergerak. Kemudian ia akhirnya menoleh menatapku. “Apa?” sahutnya. Aku menyadari ada nada geli tersirat di dalam suaranya.

Aku tetap membalas tatapannya dengan tenang, sekali pun jantungku mulai berdetak cepat. “Kau boleh menginap di sini jika kau mau. Aku tidak akan keberatan,” ulangku lagi.

David kini menunduk dan aku menyadari ia sedang tersenyum. Dan aku merasakan ada dorongan aneh untuk ingin melihat senyum itu lebih jelas muncul dalam diriku selama beberapa saat.

Kemudian tatapannya kembali padaku dan aku sadar ada sorot geli tersisa di matanya. Apa dia menertawakanku? Ia pasti sudah menyadari bahwa permintaanku tidak ada hubungannya dengan janjinya sebagai orang kepolisian yang bertugas melindungiku di sini.

Aku menginginkan keberadaannya di sini—entah untuk apa.

David kemudian berjalan menghampiriku, tatapannya masih belum lepas dari wajahku. Begitu kami berdiri berdekatan, mau tidak mau aku harus menekuk leherku ke atas untuk menatap matanya. Aku tahu kalau David memiliki badan yang tinggi, tapi aku tidak tahu kalau ia setinggi itu.

Kami bertatapan beberapa lama dan aku sama sekali tidak bisa membaca ekspresinya.

Lihat selengkapnya