Suasana hening beberapa saat. Dan aku masih tidak melepas tatapanku pada David. Ia masih diam, tidak menanggapi permintaanku.
Ia kemudian mengangguk. “Jika itu maumu.”
Aku terdiam sesaat lalu mengangguk. “Terima kasih.”
Ia kemudian mulai berjalan mendekati pecahan kaca tersebut.
“Sebaiknya ini dibersihkan sekarang,” katanya sambil mulai berjongkok di depan batu itu.
“Akan kuambilkan sapu,” ujarku dan mulai bergegas berjalan ke arah bawah tangga. Langkahku berhenti begitu melewati meja ruang tamu. Tatapanku tertuju pada jurnal Hilda yang masih tergeletak terbuka di meja tersebut. Aku melirik ragu pada David, selama beberapa saat keinginan untuk memberitahunya tentang jurnal itu semakin besar. Tapi lagi-lagi kuurungkan niat itu.
Tidak. Sekarang belum waktunya.
Dorongan aneh untuk menunggu itu datang lagi padaku. Rasa bahwa ini masih bukan waktu yang tepat kembali muncul dengan cepat di dalam diriku.
Akhirnya aku berjalan menuju meja tersebut. Buku jurnal itu kembali kututup, kemudian aku membawanya pergi dari sana. Aku berjalan menuju lemari bawah tangga tempat sapu itu berada. Di bagian atas lemari itu, terdapat laci-laci berkunci—untunglah kuncinya masih bertengger di masing-masing laci tersebut. Dengan cepat aku membuka laci paling dekat denganku, kemudian aku menaruh jurnal itu ke dalam dan menguncinya. Sambil menyelipkan kunci itu di saku celanaku, aku mulai membungkuk mengambil sapu lalu menutup kembali lemari kecil itu.
“Pria yang lari ke hutan itu …” ujar David. “Kau yakin dia Pak Wira?” tanyanya.
Aku berjalan menghampiri David yang kini mulai mengambil batu tersebut dan menaruhnya ke pinggir.
“Ya. Aku yakin. Aku bisa melihat wajahnya dengan jelas,” jawabku.
David mengulurkan tangannya padaku, mengisyaratkanku untuk menyerahkan sapu itu padanya. Aku sejenak ragu, David kemudian menoleh, menyadari ekspresiku dengan cepat.
“Biar aku saja.”
Aku terdiam, sekali lagi merasa sedikit tidak biasa dengan sikap David. Ia akhirnya mengambil sapu itu dari tanganku dan mulai menyapukan pecahan-pecahan itu ke pinggir jendela.
“Aku sama sekali tidak bisa melihat dengan jelas saat di hutan tadi. Tapi yang jelas, dia memiliki badan yang tinggi. Sedikit lebih pendek dariku, tingginya sekitar 175 cm,” ucap David. Ia kini mulai berjongkok dan mengangkat pecahan itu lalu memasukkannya ke dalam tong sampah di sebelah lemari es.
“Kurasa Pak Wira memang memiliki tinggi sekitar itu.”
David mengangguk paham. “Kurasa itu memang dia. Lagipula, alasannya menerormu cukup bisa dihubungkan dengan dugaan kita. Sekarang dia jelas-jelas terlibat dengan apa yang terjadi saat malam kematian Hilda tersebut,” jelas David. Ia kemudian berjalan mendekati jendela yang kini retak berlubang.
“Aku mencoba menemuinya tadi siang,” kata David.
“Di supermarket?” tanyaku penasaran.
“Ya.”
“Lalu?”
David terdiam sesaat. “Mereka bilang dia sudah tidak lagi bekerja di sana. Dia sudah berhenti dua hari yang lalu,” jawab David.
Alisku berkerut. Dia bertukar profesi lagi? Kenapa?
“Kau sudah mencoba pergi ke alamat yang dikirimkan Tommy kemarin?” tanyaku lagi.
David mengangguk. “Ya. Tapi rumah itu kosong. Tidak ada apa-apa di sana.” Ia menghela napas. “Kurasa dia sudah pindah bertahun-tahun lalu dari sana,” sambungnya.
Aku menyilangkan lenganku, lalu menghembuskan napas panjang. “Apa kita akan kehilangan dia?” Menangkap pria itu akan sangat membantu kami menemukan informasi berharga tentang apa yang sebenarnya terjadi malam itu. Ia jelas-jelas mengetahui sesuatu.
Dan ia jelas-jelas mengetahui sangkut paut keluarga Waksono dalan hal ini.