David masih tidak bergerak. Tapi ia juga membiarkanku memeluknya dan sama sekali tidak berusaha untuk melepaskan pelukanku.
Lenganku masih melingkari badannya. Dan wajahku masih menempel di dadanya, membiarkan pendengaranku dipenuhi dengan suara detak jantungnya yang mengeras. Perlahan-perlahan, suara itu pun mulai seirama dengan detak jantungku.
Selama beberapa saat, tidak ada dari kami yang berbicara. Keheningan sudah menyelimuti kami sejak tadi. Tapi keheningan itu bukan keheningan yang aneh, tapi justru keheningan yang menyenangkan. Dan aku menikmati setiap detiknya.
Aku tidak tahu apa yang sedang ada di pikiranku sebenarnya saat ini. Aku tidak tahu apa tujuanku sebenarnya melakukan ini. Tapi yang kurasakan benar-benar berbeda. Aku tahu aku menyukai David. Aku menyukai keberadaannya di sisiku. Tapi ada sesuatu yang lain yang berada di dalam diriku dan aku ingin membagikannya pada pria ini.
David kemudian membalas pelukanku, seolah ia sedang memikirkan hal yang sama denganku. Aku merasakan lengannya kini ikut melingkari tubuhku, membuatku semakin merapat padanya. Aku tersenyum, merasakan aroma tubuhnya yang kini semakin jelas. Tangannya kini mulai mengelus lembut rambutku.
Aku akhirnya memberanikan diri untuk menatapnya. Ia membiarkanku melonggarkan pelukanku darinya. Tapi kami tetap berdiri berdekatan. Tangannya kini berada di pinggangku dan tanganku kini memegang lengannya.
Aku menyadari ia kini menatapku dengan sorot penasaran, seperti berusaha untuk menebak apa yang selanjutnya kulakukan.
“David,” panggilku.
Ia tidak menjawab, hanya memandangiku.
“Apa kau punya pasangan?” tanyaku akhirnya.
Ia terdiam. Tapi kini sudut mulutnya mulai tertarik ke atas. “Kenapa?”
“Hanya ingin memastikan,” jawabku dengan pelan.
Mata hitam pekatnya kini mencari-cari sesuatu di kedua mataku. Ia menyadari bahwa aku masih belum menjawabnya dengan jujur. Tapi ia tetap tidak memaksaku untuk berbicara. Ia menunggu, seperti yang biasa ia lakukan.
Dan tindakan kecilnya ini sudah bisa membuatku semakin merasa aman bersamanya. Mungkin sejak pertama kali aku bertemu dengannya, aku sudah merasakan hal itu. Aku bisa mempercayainya.
Aku tahu rasa ini akan berkembang semakin besar setiap kali aku bersamanya. Hari ini aku menginginkan keberadaannya di sampingku. Dan aku tidak tahu apa yang kuinginkan lagi darinya besok.
Aku menatapnya lekat-lekat, mencoba mencari jawaban dari perasaan aneh yang bergejolak di dalam diriku.
“Boleh aku menciummu?” tanyaku tanpa sadar.
David diam. Tapi kini aku melihat perubahan di sorot matanya.
“Kenapa?” Suaranya justru terdengar sangat tenang.
“Hanya ingin memastikan,” jawabku lagi.
David kembali diam, tidak memberiku jawaban apa pun.
Aku mulai berjinjit kemudian mendekatkan wajahku padanya. Dan sekali lagi, David tidak menjauh. Tangannya masih berada di pinggangku, membiarkan tanganku menggenggam lengannya lebih erat.
Begitu bibir kami hanya berjarak beberapa senti, aku kembali menatapnya. Aku menelan ludah. “Aku akan menciummu sekarang,” ujarku.
David tetap diam, tidak berkata apa pun. Ia masih menatapku dengan sorot penasaran, membiarkanku melakukan apa yang kuinginkan. Dan anehnya, justru itu semakin membuat keberanianku semakin bertambah.
“Jika kau sudah memiliki pasangan. Jangan membalas ciumanku,” ujarku.
Lalu aku menyadari sudut mulut David bergerak membentuk senyuman. Aku menunggunya mengatakan sesuatu. Tapi ia tetap tidak bergeming.
Kemudian aku bergerak maju dan menempelkan bibirku pada bibirnya. Aku memejamkan mata, merasakan bibirku menyapu bibirnya dengan perlahan. Jantungku langsung berdetak kencang, sama sekali tidak menyangka bahwa sentuhan itu bisa membuatku bereaksi seperti ini.
Dan aku sadar David tidak membalas ciumanku.
Aku menekankan bibirku lagi untuk terakhir kali padanya, kemudian aku mulai menarik bibirku darinya.