ANGOR

Indah Thaher
Chapter #39

Memastikan

Aku memandanginya. “Itu belum terlalu jelas.”

David kini bersandar di meja dapur sambil menyilangkan lengannya. Ia masih tersenyum, wajahnya kini jelas-jelas terlihat menikmati ekspresiku.

Aku berdeham, tiba-tiba merasakan debaran itu begitu kepalaku kembali dipenuhi tentang ciuman kami.

“Jadi?”

Aku mendongak pada David. “Jadi apa?”

Ia tersenyum. “Hubunganmu dengan Tommy.” Ia menelengkan kepalanya. “Sudah berapa lama kalian putus?”

Aku mengamati David, mencoba mencari tahu alasan sebenarnya ia menanyakan hal ini padaku. Tapi aku sama sekali tidak membaca raut wajahnya. Dan aku sama sekali tidak berani untuk menyimpulkan bahwa semua ini berhubungan dengan rasa … cemburu atau semacamnya.

“Sudah sekitar 4 tahun. Kami putus saat beberapa minggu sebelum aku pindah ke ibukota,” jawabku akhirnya.

David mengangguk kecil. “Kau yang memutuskan hubungan ini, kalau begitu?”

“Tidak. Dia yang memutuskanku.”

David menatapku kaget, sama sekali tidak menyangka dengan hal ini. Tapi ia tetap diam, menungguku melanjutkan ceritaku.

Aku menarik napas pelan, kembali merasa keanehan membicarakan hubunganku dengan Tommy padanya. “Aku dan Tommy sudah kenal sejak kecil. Tapi kami baru berpacaran sejak SMA sampai lulus kuliah.” Aku terdiam sejenak. “Setelah … kematian keluargaku, aku langsung memutuskan untuk pindah dari kota itu. Aku hanya memberitahu rencana ini pada Paman, Bibi dan Tommy. Dan alasan aku memberitahu ini pada Tommy adalah karena aku sendiri ingin memintanya ikut bersamaku ke ibukota,” sambungku.

“Kau mengajaknya ikut pindah bersamamu ke ibukota?” tanya David. Alisnya terangkat, lagi-lagi terlihat takjub dengan ceritaku. 

Aku mengangguk, kembali terngiang pada masa-masa itu. Bahkan saat aku sudah hampir setengah gila seperti saat itu, aku sadar aku masih memiliki kepercayaan penuh pada Tommy. Aku tahu aku membutuhkannya saat itu, lebih dari apa pun.

“Tapi dia menolak?” tebak David.

Lagi-lagi aku mengangguk. “Dia memintaku untuk tetap bertahan di kota ini. Dia bilang aku masih memiliki keluarga—paman dan bibiku. Dan juga teman-temanku. Tapi tentu saja mereka semua tidak cukup.” Aku menunduk, mendengus pelan. “Saat itu aku benar-benar kacau dan aku hanya merasa dia mengkhianatiku di saat aku benar-benar membutuhkannya. Saat itu aku langsung terbawa emosi dan begitu juga Tommy. Aku sama sekali tidak bisa melihat alasan yang sebenarnya Tommy tidak ingin pergi bersamaku.”

“Alasan sebenarnya?”

Aku menatap David sekilas. “Saat itu Tommy … juga memiliki masalah rumit dengan ayahnya. Dan hal itu tidak memungkinkannya untuk keluar dari kota itu begitu saja saat itu.” Aku menghela napas. “Aku baru mengetahui hal ini setelah setahun setelah aku pindah ke ibukota.”

David diam, tidak berkata apa-apa selama beberapa saat. Tapi mau tidak mau aku bisa membayangkan apa yang sedang dipikirkan David saat ini tentangku.

“Kau pasti berpikir aku sangat egois,” ujarku pelan, tak bisa lagi menahan diri.

David menatapku sekilas. Tapi sebelum ia berkata apa pun, aku kembali berbicara. “Saat itu aku begitu marah karena aku tau aku benar-benar membutuhkannya. Terlebih lagi aku tau bahwa ide gila untuk pergi bersama ke suatu tempat seperti ini justru sering dilontarkan Tommy sejak dulu padaku.” Aku menghela napas. “Aku benar-benar tidak bisa berpikir jernih saat itu, kau tau.”

Trrrttt.

Kami sama-sama menoleh ke asal suara—suara getar ponsel.

“Itu ponselku,” gumamku begitu mendongak ke arah meja ruang tamu, menyadari bahwa ponselku yang sedang berkedip-kedip.

Aku mulai melangkah menjauh dari dapur menuju ruang tamu kembali. Begitu sampai di depan meja, aku meraih ponsel tersebut dan membaca nama Si Penelpon di layar ponsel.

Tommy.

Aku langsung menekan tombol terima lalu menempelkannya ke telingaku.

“Hallo,”

“Hai, Lauren. Maaf tadi aku tidak mengangkat telponmu. Aku tadi masih tertidur,” jawabnya.

Lihat selengkapnya