Mataku masih terpaku pada pintu masuk, tempat David keluar beberapa saat lalu. David berkata hendak akan kembali mencari informasi tentang Pak Wira kembali dan ia juga ingin kembali memeriksa rumah Hilda untuk memastikan keberadaan bukti-bukti yang dimaksudkan Sarah. Aku berniat untuk ikut bersamanya. Namun begitu aku mulai mengambil jaket dan mengikutinya, ia tiba-tiba langsung melarangku. Ia menyuruhku untuk tetap berada di rumah, dan memintaku berjanji untuk kali ini benar-benar akan menelponnya begitu sesuatu yang mencurigakan—terutama bahaya datang padaku.
Dan lagi-lagi aku mendapati diriku menurutinya dengan mudah. Terlebih setelah aku menyadari ada nada khawatir yang terbesit jelas di dalam suaranya.
Rasanya aku kembali bersikap seperti anak kecil lagi. Aku merasa senang mendapatinya merasa khawatir denganku—sekalipun kekhawatiran itu mungkin hanya murni untuk kepentingan penyelidikan ini.
Aku menarik napas dalam-dalam, kemudian menghembuskannya dengan perlahan. Pikiranku kembali dipenuhi oleh semua percakapan kami beberapa saat lalu. Rasanya semuanya kini tiba-tiba terasa lebih sulit dan membingungkan daripada sebelumnya. Ada suatu perasaan aneh yang membuatku mulai merasa sedikit takut bahwa apa yang sedang kami lakukan sekarang ini akan berujung sia-sia.
Semua dugaan dan kesaksianku terasa mulai tenggelam perlahan-lahan. Aku tahu keyakinan itu masih ada sepenuhnya dalam diriku. Aku masih yakin bahwa kematian Hilda bukanlah semata-mata karena bunuh diri.
Tapi rasanya semua orang di sekeliling kami—termasuk bahkan keluarga Hilda sendiri—sama sekali tidak bisa memberikan informasi yang dapat membantu kami. Aku tahu mereka tidak bisa bertindak banyak, sekalipun aku memberikan jaminan hukum bahwa mereka akan aman dari keluarga Waksono.
Aku bisa menebak bahwa David harus berusaha keras hanya untuk mendapat kepastian dari Adit tentang ada atau tidaknya tanda-tanda seseorang menyusup ke dalam kamar Hilda di malam sesudah pemakamannya tersebut. Bayangan bocah kecil itu ketakutan saat di depan SD Angor beberapa waktu lalu itu kembali muncul di kepalaku.
Lalu badanku tiba-tiba menegang, menyadari sesuatu.
Apa pria yang bersembunyi di belakang taman depan SD Angor saat aku menemui Adit beberapa minggu lalu adalah Pak Wira? Pria yang membuatnya Adit langsung kabur meninggalkanku tergesa-gesa?
Apa saat itu dia mengawasiku atau memang mengawasi Adit?
Semua rumor tentang Ibu Hilda dan Pak Wira, lalu teror yang ia lakukan padaku kembali muncul di pikiranku. Aku menghembuskan napas, mulai berpikir keras. Hingga detik ini, aku masih tidak mengerti apa yang Pak Wira inginkan dari Ibu Hilda? Apakah Pak Wira menerorku karena niat yang sama seperti semua orang di kota ini? Atau karena suruhan dari Sarah? Dia mungkin saja kini bersekongkol dengan Sarah untuk melenyapkan bukti-bukti itu sekarang.
Tapi bahkan di jurnal Hilda … aku sama sekali tidak menangkap bahwa Pak Wira memiliki hubungan yang buruk dengan keluarga Hilda. Terlebih setelah aku mengetahui bahwa Pria Itu bukanlah Pak Wira. Ia kini sama sekali bukan seseorang yang terlihat dekat dengan mereka.
Dan rasanya jurnal itu … memunculkan pertanyaan baru di dalam kepalaku. Jika memang benar Sarah adalah pelaku di balik kematian Hilda, mengapa ia melakukannya sekarang? Sudah lebih dari 6 tahun sejak terakhir kali kami membicarakan Hilda. Selama itu kami benar-benar tidak lagi menghiraukan gadis itu. Lalu kenapa sekarang?
Tidak ada alasan yang kuat bagi Sarah untuk benar-benar membunuh Hilda.
Kini aku justru merasa bahwa kedatangan Pria Itu jelas-jelas lebih berdampak besar pada Hilda dibandingkan Sarah. Ibunya yang diperlakukan semena-mena sejak dulu dan mereka yang sama sekali tidak bisa berbuat apa-apa dalam hal ini.
Satu-satunya dugaan yang masuk akal hanyalah Pria Itu yang membunuh Hilda, hanya untuk memastikan gadis itu tidak membocorkan tentang apa yang sudah ia lakukan pada ibunya.
Aku kembali menarik napas panjang, kemudian mulai bergerak menuju lemari bawah tangga tempat terakhir aku menaruh jurnal Hilda itu. Begitu aku mendapatkannya, aku kembali duduk di sofa sambil membuka lembar terakhir yang kubaca kemarin.
Ada alasan tertentu semesta membiarkanku menemukan jurnal ini.
Ada alasan tertentu darimu, kan Hilda?
Dan aku sangat berharap aku benar-benar menemukan jawabannya di sini.
15 Januari 2008
Ibu berpesan padaku untuk segera menemui Pak Arto begitu aku sampai di kampus. Dia bilang Pak Arto akan membantuku untuk mengurus beasiswa itu. Dan untunglah aku benar-benar menemukannya.
Rasanya menyenangkan untuk berbicara panjang dengan orang lain lagi. Aku tidak mengeluh. Aku sudah menduga bahwa mereka tidak akan memedulikan keberadaanku. Ada sebagian diriku yang merasa lega dengan kenyataan ini.
Setidaknya mereka tidak akan menatapku dengan sorot jijik itu lagi. Sebagian diriku masih takut, bahwa mereka—terutama Sarah akan kembali mendatangiku lagi seperti yang biasa dia lakukan selama ini. Tapi hal itu tidak terjadi. Mereka tetap menganggapku tidak ada.
Mungkin lebih baik memang seperti ini.
Rasanya aku tidak tau apa yang akan terjadi jika terus mendengar hinaan-hinaan dari mulut Sarah saat ini.
Karena aku tau perkataannya ternyata memang benar.
Semuanya.
2 April 2008