30 Desember 2012
Aku mendengar Lauren akan pindah ke ibukota beberapa hari lagi. Benar-benar pergi dari kota ini.
Semua orang di kota ini sepertinya sangat menyayangkan keputusan Lauren. Beberapa dari mereka bahkan terang-terangan berkata bahwa Lauren melakukan ini hanya untuk melarikan diri dari kesedihannya.
Lauren memiliki hak untuk melanjutkan hidupnya sendiri, bagaimana pun caranya. Dan jika ini jalan terbaik untuknya, maka aku sangat berharap dia benar-benar melakukannya.
Beberapa hari setelah pemakaman keluarganya, aku sadar Lauren tidak lagi tinggal di rumahnya. Dia kini tinggal di rumah paman dan bibinya.
Tapi aku tau selama itu, dia tetap selalu mendatangi rumahnya setiap hari. Hanya beberapa menit, dia akan berdiri di depan rumah itu.
Aku tau karena aku melihatnya.
Mungkin suatu hari nanti, saat aku sudah bisa pindah ke ibukota, aku akan memberitahunya bahwa rumah kami sebenarnya berdekatan. Hanya dipisahkan oleh hutan kecil, hutan yang berada tepat di depan rumahnya.
Dulu, saat aku masih kecil, beberapa kali aku menyeberangi hutan itu. Hanya untuk melihatnya sebentar. Dia dulu sering piknik bersama orang tuanya di halaman dan aku selalu senang memperhatikan kebersamaan mereka. Pernah beberapa kali, orang tuanya menyadari keberadaanku di pinggir hutan. Saat itu aku hendak bergegas pergi, tapi kemudian mereka memanggilku dan malah menawarkanku puding, es krim atau makanan enak lainnya.
Mereka orang baik.
Mungkin karena itu, Tuhan mengambil mereka lebih cepat karena takut mereka akan tercemar di dunia ini.
Beberapa hari kemarin, aku kembali mengulang kebiasaanku itu. Dan aku menyadari betapa semuanya terasa berubah. Aku dan juga Lauren.
Aku masih mengingat jelas wajahnya saat itu. Seringnya dia hanya berdiri diam memandangi rumah itu, kadang dia duduk dan berbaring di halaman rumahnya, kadang dia hanya duduk bersandar di lantai teras.
Satu hal yang kusadari, dia sama sekali tidak pernah memasuki rumah itu. Dia hanya menatap rumah itu dengan sorot lelah dan begitu sedih, tapi dia tidak pernah menangis.
Dia ingin kembali masuk ke rumah itu, berharap keluarganya masih ada di dalam, sama sekali tidak pernah meninggalkannya. Tapi dia tau harapan itu akan hancur begitu dia benar-benar masuk ke dalam dan menyadari rumah itu kini benar-benar kosong selamanya.
Beberapa kali rasanya aku hampir ingin berjalan dari persembunyianku dan memberinya pelukan. Aku tau dia pastinya sama sekali tidak mengharapkan hal itu dari siapa pun—terutama dariku. Jadi kutahan niat itu dan tetap di tempatku.
Sejak dulu, aku diam-diam selalu mengaguminya. Aku tau dia adalah wanita kuat. Aku tau dia akan selamat dari semua ini.
Aku tidak memandangnya seperti aku memandang Sarah dan teman-temannya yang lain. Sekalipun dia memang hampir ikut di setiap waktu saat Sarah menghina, membentak dan memukuliku.
Tapi dia baik.
Dan aku sadar dia selalu mengecekku begitu Sarah dan teman-temannya sudah selesai dan pergi meninggalkanku. Aku sadar Lauren selalu berjalan paling belakang, berbalik dan menatapku sekilas.
Dia tidak menatapku dengan sorot jijik atau benci. Dan itu sudah cukup memberiku sedikit harapan.
Mungkin ini terdengar sangat bodoh. Tapi aku merasa Lauren dan aku akan bisa berteman begitu aku dan dia sama-sama tinggal di ibukota nanti.
Aku menatap jurnal itu dengan diam. Kemudian beberapa saat kemudian, barulah aku sadar sejak tadi air mataku sudah mengalir deras. Pandanganku kabur dipenuhi oleh air mata yang masih menumpuk di pelupuk mataku.
Dadaku terasa nyeri, penuh dengan penyesalan dan rasa sedih yang mendalam bercampur menjadi satu.
Setiap perkataan Hilda tentangku dan keluargaku …
Ia mengerti kondisiku saat itu, lebih dari siapa pun. Ia mengerti mengapa aku mendatangi rumah ini setelah pemakaman itu setiap hari. Ia mengerti betapa matinya diriku saat kematian keluargaku datang.
Dan ia bahkan mendatangi pemakaman keluargaku, di saat aku sama sekali tidak peduli dengan pemakaman ayahnya dulu.
Semuanya benar dan aku benar-benar tidak menyangka Hilda melihatku seperti sosok yang ia jelaskan di tulisan itu. Perasaanku kembali berkecamuk, merasakan kembali penyesalan yang luar biasa besar terhadap Hilda. Semua sikap pengecutku, sikap diamku saat Hilda di perlakukan tidak adil, dan sikapku yang mudah melupakannya dalam ingatan-ingatanku saat kecil dulu.
Dengan tangan gemetar, aku mulai menghapus air mataku kemudian menarik napas perlahan. Aku berusaha kembali fokus pada jurnal ini, melanjutkan membaca tulisannya.
Hilda, aku akan berusaha untuk membantumu kali ini.
25 Januari 2013
Setelah kepergian Lauren, rasanya perlahan-lahan kota ini kembali sibuk. Pembicaraan tentang Lauren tidak lagi sering terdengar. Kabar terakhir yang kudengar adalah Lauren sudah mendapat pekerjaan di ibukota.
Kabar itu membuatku semakin bersemangat untuk terus mengejar impianku.
Semua teman-teman seangkatanku sudah mulai sibuk mencari pekerjaan. Kebanyakan dari mereka sudah mendapat pekerjaan, tentu saja. Dan hampir semuanya melamar pada perusahaan Waksono.
Aku masih harus menunggu ijazahku keluar. Kemudian aku akan langsung mencari lamaran di ibukota. Adit akan masuk SD tahun depan, jadi aku akan berusaha untuk mendapatkan pekerjaan di ibukota sebelum itu.
Aku akan tetap berusaha.
10 Maret 2013
Ibuku sakit.
Sudah lebih dari 2 minggu ini dia terbaring lemah di tempat tidur. Dokter bilang dia terkena tipus. Jadi aku harus merawatnya dengan ekstra.
Dan rencanaku untuk pergi ke ibukota beberapa hari lalu batal. Aku sudah meminta mereka untuk mengganti jadwal wawancaraku di lain hari, tapi kali ini mereka menolak karena ini sudah kedua kalinya aku meminta jadwalku diganti.
Aku tidak mungkin meninggalkan ibu sendiri di sini, sekali pun dia dirawat di rumah sakit sekali pun. Aku juga tidak mungkin membiarkan Adit sendiri. Dia masih balita.
Aku memang menginginkan pekerjaan di ibukota. Tapi aku lebih membutuhkan keluargaku sehat terlebih dulu.
9 April 2013
Tuhan, boleh aku bertanya padamu?
Apa yang ada di ujung takdirku? Apa ada bahagia di sana?