ANGOR

Indah Thaher
Chapter #42

Menyerah

Aku meraba bekas robekan jurnal tersebut dengan pikiran berkecamuk. Semua isi jurnal itu, terutama bagian terakhir yang baru saja kubaca …

Hidup gadis yang hancur dan semakin hancur begitu ia dipaksa menggantikan posisi ibunya untuk pria itu. Dan itu sudah berlangsung lebih dari 4 tahun, tanpa ada seorang pun di kota ini yang bisa menolongnya dan keluarganya.

Dan kalimat di jurnal itu.

 “ … Aku tidak bisa menjaga Adit dengan baik. Senyum itu kini hilang di wajahnya.

Aku juga tidak bisa menjaga ibuku dengan baik. Dia kini semakin kacau. Aku bahkan tidak yakin dia menginginkan bantuanku untuk menyembuhkannya.

Kurasa lebih baik kau mengirimkan orang yang lebih baik dari aku untuk mereka. Mereka berhak mendapatkan hidup yang lebih baik.

Dan aku rasa aku tidak lagi bisa mewujudkan hal itu pada mereka.”

“… Tuhan, aku benar-benar akan pergi sebentar lagi.

Aku bisa merasakan keyakinan itu lebih jelas sekarang.”

Aku kembali membaca kalimat itu berkali-kali. Hilda jelas-jelas terdengar begitu ingin menyerah dengan hidupnya. Ia menyerah karena Adit yang perlahan mulai menjadi seperti dirinya dan ibunya, ikut dikucilkan oleh kota ini. Ditambah dengan kondisi ibunya yang saat itu semakin depresi.

Apa … Hilda memang benar-benar bunuh diri?

Selama beberapa menit, pikiranku terasa begitu penuh dan begitu lelah untuk bisa berpikir. Aku bisa merasakan bahwa keyakinanku akan dugaanku sebelumnya tentang kematian Hilda mulai melemah semakin cepat.

Bahkan tentang robekan jurnal ini pun.

“… Karena itu sekarang, aku rasa aku bisa meluapkan semua perasaan yang selama ini tidak bisa kuungkapkan sebelumnya. Bahkan di jurnal ini.

            

Pertama, mengenai Sarah. Aku sadar kalau”

Hilda jelas-jelas hendak menceritakan sesuatu tentang Sarah. Sesuatu yang sebelumnya tidak pernah ia ungkapkan.

Dugaan bahwa Sarahlah yang merobek dan menghilangkan kertas terakhir di jurnal itu sempat terbesit di dalam pikiranku. Robekan ini kemungkinan bisa jadi adalah bukti yang ingin Sarah hilangkan, bukti yang ia minta singkirkan pada suruhannya saat aku memergoki percakapan mereka di taman pemakaman saat itu. Mungkin saja ia benar-benar berhasil menyusup ke dalam kamar Hilda malam itu atau malam berikutnya tanpa sepengetahuan mereka. David sendiri pernah mengatakan kemungkinan itu padaku tadi. Anak buah Sarah menyusup, merobek jurnal itu lalu melemparkannya ke balik kepala tempat tidur Hilda.

Tapi bagaimana dan darimana Sarah mengetahui tentang keberadaan jurnal itu? Bagaimana ia bisa mengetahui bahwa Hilda menuliskan sesuatu tentangnya di dalam jurnal itu sampai ia begitu merasa terancam karenanya? Aku bahkan tidak pernah melihat Hilda membawa buku itu. Aku bahkan ragu Hilda pernah membawa jurnal ini keluar dari kamarnya.

Helaan napas kembali muncul keluar dari mulutku.

Aku menatap ponselku selama beberapa saat dengan diam. Kemudian akhirnya aku meraih ponsel itu dan mulai memencet tombol untuk membuat panggilan.

Setelah nada terhubung pertama terdengar, ia langsung menjawab. “Lauren?”

“David.” Aku menarik napas pelan. “Kau bisa datang ke rumah sekarang? Aku perlu bicara sesuatu denganmu,” sambungku.

Kurasa sudah saatnya aku memberitahunya tentang jurnal ini.

 

 

***

Lihat selengkapnya