Aku menatap beberapa pejalan kaki yang baru saja keluar dari mobil-mobil yang terparkir di belakang kami. Jalanan di sekitar pabrik ini kini semakin ramai dipenuhi oleh mobil-mobil pengunjung.
David kemudian berbalik, meraih sesuatu dari kursi belakang. Lalu ia kemudian menyodorkannya padaku.
Aku mendongak dan mendapatinya memberikanku sebuah topi.
“Kita sama sekali tidak diundang. Jadi kurasa kedatangan kita tidak akan disambut baik,” ujarnya santai.
Aku mengangguk dan mengambil topi berwarna merah gelap itu. Topi itu cukup longgar di kepalaku, sehingga kuputuskan untuk menaikkan rambutku hingga masuk sepenuhnya ke dalam topi.
David kembali bergerak meraih ke kursi belakang dan ia sudah mengenakan topi hitam di kepalanya sebelum aku sempat bertanya padanya.
Dia detektif—polisi. Tentu saja ia sudah memiliki bahan penyamaran sederhana seperti ini di mobilnya.
“Ayo,” ujar David begitu ia sudah mematikan mesin mobil.
Ia kemudian membuka pintu dan keluar dari mobil. Aku mengikutinya dari belakang. Kami berjalan di trotoar, menuju gerbang yang kini terbuka lebar. Beberapa orang melewati kami, berjalan cepat sambil tertawa senang menuju gerbang.
Aku menoleh, menatap ke dalam pabrik itu. Pagar besi berwarna hitam mengelilingi pabrik ini, namun aku masih bisa melihat dengan jelas acara itu dari luar. Pabrik itu lumayan besar, sebuah gedung dengan cat putih dan lapangan yang besar yang berada di samping gedung. Aku menduga lapangan itu adalah lapangan parkir yang nantinya digunakan untuk truk-truk pengangkut barang pabrik tersebut. Acara itu sendiri diadakan di lapangan parkir pabrik tersebut.
Begitu kami akhirnya melewati gerbang, barulah aku mulai bisa mendengar suara alunan musik berkoar. Tatapanku mulai bergerak menjelajahi tempat ini. Karangan bunga yang bertuliskan ucapan selamat berjejer memenuhi gerbang. Lalu begitu kami mulai berjalan ke arah lapangan itu, sebuah panggung dan tenda besar tampak didirikan di sana—hampir menutupi lapangan itu sepenuhnya. Di sekeliling tenda itu berjejer meja-meja panjang berwarna putih yang dipenuhi dengan sajian makanan dan minuman.
Kami kini berjalan menuju trotoar yang berada paling belakang lapangan itu di ujung tenda, berhadapan tepat dari panggung.
Aku kembali menatap ke sekeliling tenda tersebut. Acara utamanya sepertinya belum dimulai. Sekumpulan pemain musik masih terus mengalunkan musik di atas panggung. Dan beberapa pengunjung mulai berdiri mengintari meja-meja panjang untuk menyicipi sajian sambil mengobrol dengan teman-temannya.
Di depan panggung tersebut, berjejer barisan kursi-kursi yang kini hampir penuh dengan pengunjung. Di barisan paling depan, kursi-kursi itu sedikit berjarak dengan barisan selanjutnya dan dipenuhi dengan kursi kayu berukir—berbeda dengan kursi penonton.
Mataku kemudian tertuju pada dua orang pria yang duduk di tengah barisan itu. Mereka tengah bercengkrama sambil tertawa. Aku bisa mengenali salah satu pria itu, bahkan dari belakang pun.
Itu adalah Pak Reyhan Waksono. Dan yang di sebelahnya sudah pasti adalah Pak Mulyo.
“Upacara pemotongan pitanya sepertinya belum dilakukan,” ujar David.
Aku mendongak, mendapati David sedang menatap ke arah tempat Pak Rey dan Pak Mulyo duduk. “Ya. Sepertinya begitu,” sahutku.
Pandanganku kembali mengintari ke sekeliling, mulai mencoba mengenali beberapa pengunjung di sini. Beberapa dari mereka yang berdiri tidak jauh dariku adalah adik kelasku dulu saat SMA. Lalu aku juga menemukan Bu Emma, Pak Haris dan beberapa dosen sedang berdiri di sebelah meja sajian itu.
Mataku kembali terus bergerak hingga akhirnya aku menemukan Sarah dan teman-temannya. Mereka berdiri di sebelah meja sajian, tepat sebelah barisan kedua. Mereka semua ada di sini—Sarah, Tifa, Nika dan Vera. Beberapa teman seangkatanku berada tidak jauh dari mereka.
“Adit dan Ibunya tidak ada di sini,” ujar David diam. Ia lalu mendengus, sepertinya menyadari dugaannya barusan sudah sangat jelas.
“Mereka memang tidak pernah datang,” gumamku.
Pandanganku masih tertuju pada Sarah dan teman-temannya. Aku mengamati mereka selama beberapa saat, merasakan keanehan saat menyadari posisiku kini mungkin saja adalah gambaran yang terlihat di mata Hilda selama ini setiap kali melihat kami.
Aku menghela napas, kembali merasakan penyesalan itu muncul di dalam diriku.