Jantungku berdetak cepat, menyadari tenggorokanku tiba-tiba terasa sakit.
“Lauren,” panggil David pelan. Ia pasti sudah menyadari perubahan sikapku yang tiba-tiba kaku.
“Aku baik-baik saja,” jawabku. Suaraku terdengar begitu serak dan lirih.
David menghela napas, terdengar jelas sangat tidak puas dengan jawabanku. Tapi ia tidak lagi bersuara.
Aku hanya tidak menyangka akan mendengar cerita itu lagi dari mulut orang-orang kota ini. Selama ini aku mengira semua orang di kota ini sudah tidak ingin mengungkit kejadian itu lagi. Cerita itu harusnya hilang, ikut hilang sejak aku memutuskan pergi dari kota ini bertahun-tahun lalu.
Kejadian itu tidak hanya membekas di dalam diriku, tapi juga beberapa orang di kota ini. Yang diceritakan Pak Rey memang benar, korban jiwanya bukan hanya keluargaku. Tapi juga beberapa pekerja yang terperangkap di dalam pabrik yang berdiri tepat di sebelah pom bensin itu. Enam korban jiwa, tiga di antaranya adalah keluargaku dan tiga lainnya adalah pekerja pabrik. 20 pekerja lainnya luka ringan.
Tapi, semua orang di kota ini menganggap keadaanku lebih tragis.
“Aku melihat paman dan bibimu,” ujar David tiba-tiba, namun dengan suara pelan.
Aku mendongak, kemudian mengikuti arah pandang David. Lalu aku melihat mereka, sedang berdiri tidak jauh dari tempat Bu Emma dan Pak Haris berdiri. Tatapan kami bertemu dan kusadari bahwa mereka sudah menyadari keberadaanku sejak tadi.
Kami bertatapan selama beberapa menit dan aku mulai merasakan gejolak penyesalan muncul dari dalam diriku. Mereka menatapku dengan ragu, seolah berusaha menahan diri untuk berjalan menghampiriku ke sini. Tapi mereka tetap diam, tidak bergerak.
Suara tepuk tangan kembali terdengar, disertai dengan seruan kagum dari kerumunan. Aku mengedip, kemudian melepaskan pandanganku dari Paman dan Bibi.
Aku menyadari Pak Rey kini sudah berjalan turun dari panggung. Ia menyodorkan microphone pada Laras.
“Terima kasih kepada Pak Reyhan. Selanjutnya, acara pemotongan pita sebagai pembukaan resmi pabrik ini akan segera kita lakukan. Dan untuk itu saya persilahkan para hadirin untuk berpindah ke pintu utama,” kata Laras sambil mulai mengarahkan kerumunan itu ke pintu utama.
Saat aku mengalihkan pandangan menuju arah pintu utama itu, pandanganku kembali beradu dengan Sarah.
Dan aku sadar kini semuanya menatapku dan David. Sarah, Tifa, Nika dan Vera—mereka menatap kami dengan sorot dingin, jelas-jelas mengisyaratkan ketidaksukaannya bahwa kami masih tetap di sini.
“Lebih baik kita pulang sekarang,” ujarku. Kurasa rencanaku untuk berbicara dengan Pak Rey tidak akan berhasil hari ini. Sarah tidak akan membiarkanku mendekati ayahnya—atau bahkan Pak Mulyo. Itulah yang sejak tadi ingin ia sampaikan padaku melalui sorot mata itu.
“Ayo, kalau begitu.”
Sementara semua kerumunan itu mulai bergerak menuju pintu utama, aku dan David berjalan berbelok menuju gerbang masuk. Kami terus berjalan hingga akhirnya sampai di depan mobil sedan hitam milik David.
Suara ponsel terdengar, berasal dari saku David.
“Masuklah dulu,” katanya padaku. Kemudian ia mulai mengeluarkan ponselnya dan menerima panggilan tersebut. Ia berbalik dan mulai berbicara dengan nada serius.
Aku tetap berdiri, memutuskan untuk menunggunya di luar mobil. Aku mulai menatap jalan di sekitar kami dan menyadari jalanan itu masih dipenuhi dengan mobil-mobil pengunjung. Tapi pejalan kaki sudah tidak terlihat lagi di trotoar ini.
“Lauren?” Suara itu langsung membuatku berbalik dengan cepat. Senyumku langsung muncul dengan cepat begitu aku melihat wajahnya.
“Tommy!” seruku sambil memeluknya. Ia baru saja keluar dari mobil yang melewati mobil kami.
Ia terkekeh sambil membalas pelukanku. “Kau baik-baik saja?”
Aku mengangguk. “Ya.” Aku lalu mendongak, menatap wajahnya. “Kapan kau sampai di Angor?” tanyaku.
Ia tersenyum. “Baru saja.” Ia kemudian mengalihkan pandangannya dariku, melewati kepalaku. “David,” sapanya dengan nada biasa.
Aku berbalik dan mendapati David kini bersandar di mobil, menatap kami dengan sorot aneh. Apapun artinya, tatapan itu berhasil membuatku gugup.
“Apa yang kalian lakukan di sini? Ah—” Tommy kemudian terhenti, pandangannya kini tertuju pada pabrik di depan kami. “Kalian berhasil bicara dengan Pak Rey?”
“Bukan itu tujuan kami datang ke sini.” David menatapku sekilas. “Tapi aku rasa aku memang butuh bicara dengan Pak Rey lagi, dan juga Pak Mulyo.”
Tommy mengangguk paham, kembali menatap pabrik itu dengan diam. Aku mulai menatap mereka bergantian, merasakan kembali kecanggungan yang aneh.
“Kau mau mampir ke rumahku dulu, Tommy? Kita bertiga bisa mengobrol dan sebagainya,” ajakku.
“Ide bagus,” jawab Tommy sambil tersenyum.