ANGOR

Indah Thaher
Chapter #45

Bukit

Entah sudah berapa lama waktu berlalu tanpa aku melepaskan tatapanku dari wajahnya. Aku bahkan tidak tahu apakah aku masih ingat untuk menarik napas. Rasanya aku tidak sedang berada di tubuhku lagi, tidak merasakan apapun.

Hanya pikiranku yang masih bisa kurasakan bergerak. Dan mereka bergerak membentuk rangkaian-rangkaian bayangan dan memanggil kembali semua ingatan tersebut untuk memadukannya menjadi sesuatu yang mengerikan. Sesuatu yang selama ini selalu bisa membuatku kembali goyah, menunggu untuk jatuh.

“Lauren.” Sebuah tangan yang hangat meremas tanganku dengan pelan.

Aku kemudian menatapnya, kini benar-benar menatapnya. Wajah Tommy kini dipenuhi dengan kekhawatiran yang terlihat jelas. Ia kembali meremas tanganku dan aku menyadari bahwa bukan tangannya yang begitu hangat, tapi tanganku yang sejak tadi sudah mendingin.  

Tommy terdiam beberapa saat, kemudian ia mulai menggeleng lelah. “Ini alasan mengapa aku tidak pernah memberitahumu tentang hal ini,” ujarnya lirih.

Aku kembali menarik napas, berusaha membuat detak jantungku kembali normal. Butuh beberapa waktu untuk aku bisa mengumpulkan tenaga agar bisa berpura-pura tenang di depannya, memperlihatkan bahwa aku baik-baik saja.

“Siapa saja yang mengetahui tentang hal ini?” tanyaku dengan suara tercekat.

Tommy menghela napas, jelas-jelas tidak ingin lagi membicarakan hal ini denganku. Ia kembali melepas tatapannya dariku, terlihat menyesal.

“Apa Sarah tau?” cobaku lagi.

Tommy menatapku sekilas. “Ya, aku rasa dia tau. Aku pernah melihatnya mendampingi ayahnya di pengadilan waktu itu,” jawabnya akhirnya.

Aku terdiam, merasakan kembali detak jantungku mulai memburu. “Dan kurasa alasannya menyembunyikan ini dariku sangat berbeda denganmu,” ujarku sinis. Aku dan Sarah memang dekat, tapi aku tahu ia tidak menyembunyikan hal ini demi perasaanku—seperti yang dilakukan Tommy saat ini.

Ia melakukannya untuk melindungi ayahnya.

“Siapa lagi yang mengetahui hal ini?”

Tommy mengamatiku beberapa saat. “Pihak Waksono, pihak konstruksi dan beberapa pejabat kota ini. Seharusnya hanya mereka.”

Seharusnya …

Tapi aku dan Tommy tahu bagaimana kota ini. Bahkan hanya dari beberapa pihak itu pun, kemungkinan bahwa kebenaran ini bocor ke muka umum sangatlah mungkin. Dan rasanya aku sudah bisa menebak kalau hal itu memang benar-benar terjadi.

Dan mereka semua menutupinya bersama-sama. Mereka akan menutupi berita itu dari orang luar dan juga orang-orang yang menurut mereka berbahaya. Orang-orang yang menurut mereka akan menuntut kembali ketidakadilan yang mereka buat.

Aku.

Dan mereka berhasil membungkam saksi itu.

“Kau tau siapa nama pekerja itu?” tanyaku. Suaraku terdengar begitu aneh.

Tommy menyadari perubahan suaraku. “Apa yang ingin kau lakukan?”

“Aku hanya ingin bicara dengannya.”

“Lalu setelah itu apa?”

Aku terdiam, menatap Tommy selama beberapa saat. Aku sadar Tommy sudah bisa menebak apa yang akan sebenarnya ingin kulakukan.

Ia kini menatapku dengan sorot lemah. Tangannya mulai meremas tanganku. “Aku memang berkata kalau kau sudah berubah dibanding 4 tahun lalu. Tapi aku tau kau masih belum sepenuhnya kuat untuk kembali memikirkan hal ini lagi.” Ia menarik napas. “Jangan biarkan hal ini merusakmu—”

“Ini tentang keluargaku, Tommy! Bagaimana mungkin aku membiarkannya begitu saja?” suaraku kini mulai mengeras.

Tommy terdiam beberapa saat. “Kau ingin menuntut Pak Rey kembali, kan? Kau sadar itu artinya kau akan mendengarkan kembali semua kesaksian mengerikan dan entah apa lagi yang akan muncul nantinya di persidangan atau dari saksi itu. Kau sadar itu akan kembali menyakitimu? Itu seperti mengulang kembali kejadian 4 tahun lalu.”

Aku menatapnya dengan sorot diam, tidak menanggapi pernyataannya. Jantungku kini memburu dan mulai terasa nyeri setiap kali jantung itu berdetak. Tapi aku tetap memasang wajah tenang, masih berusaha sekuat tenaga untuk memperlihatkan padanya bahwa aku masih baik-baik saja. Bahwa aku kini sudah berubah.

“Siapa nama pekerja itu?” tanyaku lagi akhirnya dengan suara pelan.

Tommy menatapku dengan sorot lemah itu. Ia tetap diam, tidak menjawab pertanyaanku.

Lihat selengkapnya