“Aku baik-baik saja,” jawabku untuk kesekian kalinya.
Ayah terkekeh geli, menyadari bahwa pertanyaannya berhasil membuatku jengkel. Aku langsung menyambar kantong keripik yang sejak tadi ia pegang.
“Hei!” sahutnya dengan kaget. Sekarang giliran aku yang tergelak karena berhasil mengerjai Ayah.
Ibu ikut tersenyum. “Kalian jangan ribut, Noah baru saja tertidur,” ujarnya tanpa menoleh dari pandangannya dari jalan.
Aku dan Ayah langsung menutup mulut kami, bersamaan menoleh ke sebelahku untuk mengecek Noah. Untunglah ia masih terlelap, tertidur dengan posisi miring menghadap ke depan kursi penumpang. Kedua tangan kecilnya menempel ke pipi kirinya dengan menggemaskan. Wajah itu terlihat damai, hanyut dengan dunia mimpinya. Dan mau tidak mau siapa pun yang melihat wajah itu akan ikut tersenyum.
“10 menit lagi kita akan sampai,” ujar Ibu. Aku menatap Ibu, menyadari bahwa ia juga enggan membangunkan Noah yang baru beberapa menit lalu tertidur.
“Aku yakin dia justru akan lebih kesal kalau kita tidak membangunkannya. Bagaimana pun, dia yang paling ingin ke taman bermain ini,” kata Ayah sambil tergelak pelan.
Ibu kembali tersenyum. “Kau benar.”
“Lagipula Lauren juga ingin cepat-cepat keluar menghirup napas segar,” timpal Ayah lagi dengan nada jail itu lagi.
Aku mengerang kesal. “Aku baik-baik saja, Ayah. Ya, aku memang tidak menyukai bau durian yang kalian makan tadi. Tapi baunya tidak akan membuatku muntah.” Aku lalu menatap ke kursi kemudi. “Ibu, lakukan sesuatu pada Ayah. Aku mohon,” rengekku.
Ibu lalu memukul pelan Ayah.
“Aww!”pekik Ayah dengan suara berlebihan.
“Sudah kulakukan, Lauren.”
Aku mau tidak mau tersenyum geli melihat mereka. Aku lalu menghela napas lelah. “Aku tidak mengerti mengapa hanya aku yang tidak menyukai durian di keluarga ini,” ujarku bingung.
Ayah lalu berbalik, menatapku dengan sorot berpura-pura menyesal. “Sepertinya itu salah ayahku. Dia juga tidak menyukai baunya sepertimu.”
Aku menatap ayah beberapa saat. “Ibu, apa Ayah juga punya sesuatu yang baunya bisa membuatnya kabur ketakutan?”
Ayah langsung menggeleng cepat. “Tidak ada.”
“Nangka. Dia tidak suka bau nangka,” jawab Ibu dengan santai, tidak menghiraukan protes Ayah.
Aku dan Ibu mulai tertawa, kemudian Ayah ikut tertawa bersama kami hingga akhirnya kami langsung menutup mulut, menyadari tawa kami bisa membangunkan Noah. Tapi begitu aku menoleh, Noah sudah terlanjur bangun. Ia sedang memijit matanya dengan sisa kantuk yang terpampang jelas di wajahnya.
“Selamat pagi, prajurit,” ujar Ayah.
Ia tersenyum. “Apa yang sedang kalian tertawakan tadi?” tanyanya dengan penasaran.
“Oh, hanya membicarakan tentang bau yang paling kami benci,” jawab Ayah santai.
Aku tergelak melihat ekspresi bingung bercampur takjub yang kini menyelimuti wajah mungilnya. Aku lalu menariknya dan memberinya kecupan keras di keningnya dengan gemas.
“Kita sudah sampai,” seru Ibu. Kami semua langsung menoleh ke luar jendela.
Dan badanku langsung membeku.
Kami tidak berada di taman bermain. Kami berada di pom bensin. Jantungku langsung berdebar nyeri dan mulai berpacu liar penuh dengan rasa ketakutan.
“Ibu, kita harus keluar dari sini sekarang!” seruku dengan panik.
Tapi semuanya tetap terus berbicara satu sama lain, seolah mereka sama sekali tidak mendengar suaraku. Seolah keberadaanku tiba-tiba menghilang di antara mereka.
Suara derik keras terdengar dari luar dan aku menyadari itu adalah terobong asap pabrik. Terobong asap itu terbakar dan mulai bergerak jatuh menuju mobil kami.
“Keluar dari mobil ini sekarang! Terobong itu akan menimpa kita! Pom bensin ini akan meledak!” pekikku sekeras mungkin.
Tapi mereka tidak mendengarku sama sekali. Ibu dan Ayah masih berbicara pada Noah dengan senyum di wajah mereka masing-masing, sama sekali tidak menyadari terobong asap yang semakin mendekati mobil kami.
“Ya Tuhan, aku mohon! Ayah! Ibu! Noah!” teriakku dengan tangis ketakutan.
Aku mencoba meraih mereka, berusaha menarik mereka keluar bersamaku. Satu tanganku membuka pintu mobil.
Kemudian terobong itu roboh mengimpit mobil kami, membuat mobil kami terangkat naik. Suara ledakan muncul.
Dan sedetik kemudian, suara kobaran api dan suara teriakan kesakitan pilu itu datang memenuhi pendengaranku dengan cepat. Aku memejamkan mata, menunggu rasa panas api itu menjilati kulitku. Tapi aku sama sekali tidak merasakannya. Dengan sisa kesadaranku, aku kembali berusaha meraih tangan mereka di antara api
Lalu ada tangan lain yang tiba-tiba memegangiku.
Dan seketika semuanya hening. Benar-benar hening tanpa ada sedikit pun suara terdengar.
Begitu aku membuka mata, aku sudah berada di ruang tamu, berbaring di sofa. Saat aku mencoba bangun, aku menyadari bahwa sekujur badanku dipenuhi dengan debu asap hitam.
“Halo, Lauren.”