ANGOR

Indah Thaher
Chapter #47

Lebih Dalam

Aku kembali memencet nomor Tommy, kemudian menempelkan ponsel ke telingaku. Tapi seperti sebelumnya, nada sibuk langsung terdengar. Ini sudah kesekian kalinya aku mencoba menghubunginya.

Dahiku berkerut. Sudah lebih dari dua hari ini aku tidak bisa menghubungi Tommy. Nada sibuk itu selalu muncul setiap kali aku mencoba menghubungi nomor ponselnya. Tidak biasanya Tommy tidak membalas telponku selama ini, tanpa kabar sedikit pun.

Terakhir kali kami bertemu, ia memang kurang senang dengan rencanaku untuk menemui David ke ibukota. Tapi ia tetap menelponku begitu aku sudah sampai di sana.

Aku kemudian memutar kunci pintu rumah, lalu membukanya dan berjalan masuk. Aroma khas rumah ini kembali menyelimuti penciumanku dengan cepat. Dan aku mulai menegang, merasakan kekalutan dan bayangan mimpi-mimpi itu datang memenuhi pikiranku.

Jantungku mulai berdebar cepat, tapi aku tetap berusaha untuk melangkah maju memasuki ruang tamu ini. Aku terus melangkah, hingga sampai ke dapur lalu bergegas mengambil segelas air putih. Begitu aku merasakan air itu mengalir di dalam kerongkonganku, barulah aku mulai merasakan detak jantungku tenang sedikit demi sedikit.

Kupaksakan kembali kakiku melangkah menuju ruang tamu. Lalu begitu sudah berada di depan sofa, aku langsung menghempaskan badanku. Aku memejamkan mata, kembali menarik napas panjang untuk kesekian kalinya.

Aku baik-baik saja … aku baik-baik saja …

Aku kembali membuka mata, menatap ke sekeliling ruangan ini—mencari apapun untuk mengalihkan pikiranku. Tatapanku kemudian tertuju pada jendela di sebelah kulkas, jendela yang beberapa hari lalu dipecahkan oleh penerorku—Pak Wira.

Lalu badanku membeku, tiba-tiba menyadari sesuatu.

Terakhir kali Tommy bercerita padaku bahwa ia mendapatkan informasi baru dari ayahnya tentang Pak Wira. Ia tahu dimana tempat tinggal Pak Wira yang lain di kota ini dan ia ingin mengecek terlebih dahulu sebelum benar-benar memberitahuku dengan detil. Karena Tommy sendiri tidak yakin dengan lokasi ini, ia bilang lokasi ini sangat aneh untuk dijadikan tempat tinggal.

Tommy mencoba mencari Pak Wira di sana. Dan sejak saat itu aku tidak bisa menghubunginya lagi.

Apa … terjadi sesuatu dengan Tommy?

Bayangan itu berhasil dengan cepat menyelubungiku tanpa henti. Dan sekujur tubuhku langsung bergidik ngeri, membuat jantungku berpacu cepat.

Tapi aku tetap berusaha untuk segera bangkit, mengambil jaketku dengan tangan gemetar. Lalu melangkah keluar dari rumah menuju tempat mobilku terparkir.

Begitu aku menghidupkan mesin mobil, aku langsung melaju cepat menuju tempat lokasi yang pertama terbesit di pikiranku. Bagaimana pun, hanya ialah yang kemungkinan tahu kemana terakhir kali Tommy pergi.

Beberapa menit kemudian, aku berbelok dan memakirkan mobilku tepat di sebuah rumah besar berpagar putih. Sebuah mobil van hitam sedang terparkir tepat di depan pagar, hendak bersiap keluar. Aku menyadari seorang satpam sedang berjalan untuk membuka pagar tersebut.

Aku bergegas keluar dari mobilku, kemudian berjalan menghampiri Si Satpam. Si Satpam kemudian menoleh dan aku langsung mengenalinya. Ia masih satpam yang lama sewaktu dulu aku sering mengunjungi rumah ini.

Ia juga membelalak kaget, masih mengenaliku.

“Pak Andi,” ujarku sambil tersenyum ramah.

“Nona Lauren,” jawabnya canggung. Ia kemudian menoleh ke arah mobil van hitam di belakangnya.

“Apa itu Pak Riwan?” tanyaku langsung.

Pak Andi langsung berbalik menatapku dengan enggan. “Iya. Itu Pak Riwan. Beliau mau pergi—” Ia langsung berhenti begitu menyadari pintu mobil van itu terbuka dan seseorang keluar dari sana.

Pak Riwan.

Aku menatap sosok itu dengan tenang. Ia kini berdiri di depan mobil, menatapku dengan sorot datar, sama sekali tidak terkejut dengan kedatanganku yang tiba-tiba ke rumahnya.

Aku kembali menatap Pak Andi. “Terima kasih, Pak,” ujarku padanya. Kemudian aku mulai berjalan menghampiri Pak Riwan yang kini mulai melepaskan kacamata hitamnya.

Ia seperti replika dari anaknya. Perbedaannya hanyalah senyum dan sorot mata itu. Berbeda dengan anaknya, Pak Riwan sama sekali tidak pernah tersenyum dan selalu terlihat serius.

“Aku tidak punya waktu sekarang untuk berbicara denganmu, Lauren. Aku sudah terlambat untuk bertemu klien—”

“Ini tentang Tommy,” potongku. “Aku tidak bisa menghubunginya,” sambungku.

Lihat selengkapnya