Aku kembali menepikan mobilku ke tepi jalan, tepat begitu aku mulai merasakan sakit kepala itu muncul lagi. Aku mulai meraih tasku di kursi penumpang, meronggoh botol kecil di dalamnya. Sambil memejamkan mata, aku menuangkan dua butir tablet dan langsung menelannya.
Selama beberapa menit, kubiarkan obat itu bereaksi sampai sakit kepalaku mulai sedikit mereda.
Pikiranku sejak tadi masih dipenuhi dengan semua hal yang terjadi sejak aku datang kembali ke kota ini. Kematian Hilda, kematian keluargaku, Adit, Pria Itu, Tommy, Sarah dan semua tingkah aneh orang kota ini. Rasanya semua seperti tiba-tiba datang bersamaan untuk membingungkanku.
Lalu pandanganku tertuju pada sebuah poster yang berdiri terpampang di sebuah papan jalan yang tidak jauh dari mobilku. Itu adalah poster Pak Rey, sedang tersenyum di depan gedung perusahaannya. Wajah itu ramah, namun juga tegas—tipikal pemimpin idaman pada umumnya.
Rasanya sangat sulit untuk menyangka bahwa di balik wajah itu tersembunyi sosok penipu yang tidak bertanggung jawab.
Setidaknya hingga sekarang, sampai aku mengetahui bahwa ia menutupi kesalahan yang menyebabkan keluargaku pergi meninggalkanku selamanya.
Kurasa seharusnya aku sudah bisa menebak hal ini sejak dulu. Sarah adalah anak dari Pak Rey dan sejak dulu aku selalu menemukan banyak kesamaan dari mereka berdua. Sarah jelas-jelas mengetahui tentang ledakan pabrik ayahnya dan ia sama sekali tidak menyinggung hal itu padaku sedikit pun, bahkan sebagai teman.
Dan aku tahu Pak Rey juga mengetahui jelas anaknya selama ini memperlakukan Hilda dengan buruk sejak dulu.
Aku menatap kosong poster itu selama beberapa saat, merasakan pikiranku kembali berkecamuk.
Mungkinkah … Pak Rey benar-benar adalah Pria itu?
Selama ini, ada dua orang yang bagiku sangat memungkinkan dimaksud Hilda sebagai pria itu di jurnalnya.
Pak Rey dan Pak Mulyo.
Keduanya adalah publik figur besar di kota ini, seseorang yang tidak mungkin disalahkan atas perbuatan yang menjijikkan seperti itu—sekalipun tuduhan itu memang benar. Seluruh kota ini akan melindungi mereka, aku sadar itu. Hanya saja, jika harus memilih berdasarkan reputasi mereka, Pak Mulyo lebih memiliki kemungkinan besar.
Ciri-cirinya sangat bisa disamakan dengan apa yang diceritakan Hilda di jurnalnya. Pak Mulyo juga bekerja sebagai Hakim Agung selama bertahun-tahun di kota ini, jadi tentu saja ia bisa sangat dengan mudah memasukkan Hilda ke dalam biro hukum mana pun di kota ini sebagai senior besar.
Dan senyum menyeringai itu.
Aku tahu sejak dulu Pak Mulyo selalu memiliki perhatian lebih terhadap gadis muda yang cantik. Tapi orang-orang di kota ini hanya memandangnya sebagai sosok ayah idaman, sekalipun ia sendiri tidak memiliki anak satu pun dari mantan istrinya. Sekalipun bahkan pernah beredar rumor menjijikkan tentang ia dan sekretaris mudanya bertahun-tahun lalu.
Sekarang aku benar-benar bergidik melihat senyum itu. Sejak dulu aku memang tidak pernah menyukai senyum itu di wajahnya, terutama saat senyum itu tertuju padaku.
Tapi seperti halnya Pak Rey, aku sama sekali tidak pernah melihat Hilda atau ibunya berbicara dengan Pak Mulyo.
Dan aku tidak bisa menghubungkannya dengan Sarah yang jelas-jelas melakukan sesuatu pada Hilda malam itu. Aku juga tidak bisa menemukan alasan kuat mengapa Sarah melakukannya.
Berbeda dengan Pak Rey.
Walaupun aku tahu kemungkinan bahwa aku bisa saja melewatkan kesaksian itu memang ada—karena bagaimana pun rumahku dan Hilda tidak melewati jalan yang sama. Hanya saja, Pak Rey cenderung lebih memiliki hubungan dekat dengan keluarga Hilda sejak dulu. Bagaimana pun juga, Ibu Hilda bekerja di salah satu pabrik milik Pak Rey.
Dan hubungan Sarah dan Hilda sendiri tidak bisa disebut asing.
Dengan dugaan bahwa Pak Rey adalah pria itu, rasanya semua pecahan-pecahan misteri di kepalaku mulai bisa terhubung.
Pak Rey mencintai putrinya begitu besar, begitu juga sebaliknya. Jadi tidak mengejutkan jika tiba-tiba saja Sarah menginginkan bantuan ayahnya untuk melakukan sesuatu pada Hilda dan ayahnya menyetujui dengan mudah. Menyuruh Pak Wira adalah salah satunya, tapi nyatanya Sarah sendiri tidak tau bahwa Pak Wira juga melakukan sesuatu yang sama seperti yang ia rencanakan.
Aku mengerutkan dahi, berpikir keras. Aku mulai menarik napas pelan.
Satu-satunya dugaanku kini adalah Pak Rey memang ‘Pria Itu’ yang dimaksud Hilda di jurnalnya. Jadi artinya … selama ini Ibu Hilda sudah berhubungan dengan Pak Rey—melakukan semua yang diceritakan Hilda di jurnalnya tersebut.
Dan itu yang membuat Sarah membenci Hilda setengah mati sejak kami berumur 7 tahun, semakin membencinya begitu tahu Hilda menggantikan posisi ibunya. Hingga akhirnya Sarah memutuskan untuk membunuh Hilda.
“Kurasa bukan hanya aku yang sudah muak dengan Si Tolol itu.”
Muak …
Perkataan Sarah saat di pemakaman itu kembali terngiang di kepalaku. Dan fakta bahwa Pak Rey juga memerintahkan seseorang untuk melenyapkan Hilda malam itu adalah tanda bahwa ia juga sudah tidak menginginkan Hilda lagi.
Aku memejamkan mataku rapat-rapat, menghembuskan napas dengan perlahan. Denyutan itu kembali muncul di kepalaku.
Aku hanya perlu mencari tau apa yang sebenarnya mereka lakukan pada Hilda malam itu.
Malam itu …
Mataku terbuka cepat, menyadari sesuatu. Aku lalu bergegas menghidupkan mesin mobil dan mulai berkendara menjauh dari tempat ini.
***
Aku keluar dari mobil, kemudian mulai berjalan menuju gerbang kayu yang menjulang tinggi di hadapanku. Begitu aku sampai di gerbang, aku langsung membunyikan bel yang berada paling tepi gerbang. Aku mulai menatap ke sekelilingku, menyadari bahwa seperti biasa jalan ini selalu sepi.