ANGOR

Indah Thaher
Chapter #49

Orang yang Paling Tidak Tahu Apa-Apa

Aku mengetuk pintu itu beberapa kali dan kembali berdiri diam menunggu suara muncul dari dalam. Dan kali ini, aku mendengar suara langkah kaki. Detik berikutnya pintu itu terbuka dan seorang wanita paruh baya muncul, berdiri di balik pintu.

“Selamat pagi. Apa anda Bu Siska Maulan?” tanyaku.

Ia tersenyum ramah. “Ya.” Ia kini mengamatiku. “Bisa saya bantu?”

“Oh, maafkan aku.” Aku mengulurkan tangan, menyadari bahwa ia jelas-jelas tidak mengenaliku. “Aku Lauren Narra. Keponakan Paman Septa.”

 Ia masih tersenyum ramah, masih tidak mengenaliku. Aku menatapnya beberapa saat, kemudian menarik napas pelan. “Aku berasal dari Angor,” ujarku akhirnya. Dan aku menyadari wajahnya kini mulai berubah. “Aku anak dari korban ledakan pabrik Waksono 4 tahun lalu,” sambungku.

 Matanya kini menatapku nanar dan senyum ramah itu hilang dengan cepat. Ia kemudian mulai menatap ke sekeliling lorong dengan dahi berkerut.

 “Aku tidak membawa siapa-siapa. Aku ke sini hanya ingin bertemu denganmu dan berbicara sebentar saja—tentang hal ini.”

 Tatapannya kembali tertuju padaku. Beberapa saat ia hanya memandangiku dengan diam, masih memutuskan untuk membiarkan aku masuk atau tidak. Kemudian ia menghembuskan napas pelan. “Masuklah cepat.”

 Aku mengangguk, lalu berjalan masuk sementara ia berdiri menahan pintu. Suara pintu tertutup terdengar, membuatku sedikit terlonjak kaget.

 “Duduklah,” ujarnya. Ia berjalan melewatiku, menunjuk sofa yang berhadapan dengan TV. “Kau ingin minum sesuatu?” tanyanya lagi.

  “Air putih saja, terima kasih.”

  Ia kini berjalan menuju dapur kecil yang berada di balik ruang tengah tempat sofa ini berada. Apartemen ini sederhana, tidak terlalu kecil dan besar—cukup untuk satu atau dua penghuni.

  Dan aku menyadari Bu Siska sepertinya memang menghuni tempat ini sendiri. Aku tidak melihat sepatu atau pun pakaian yang berbeda ukuran atau semacamnya. Dan satu-satunya foto yang ada di sini hanya foto Bu Siska dengan seorang perempuan yang lebih tua.

   “Apa kau masih tinggal di sana?” tanyanya padaku.

  Aku langsung menoleh dan mendapatinya kini berjalan menuju sofa sambil membawa nampan berisi segelas air dan makanan ringan.

  “Tidak,” jawabku, menatap datar tangannya yang kini menaruh gelas itu di hadapanku. Aku menyadari tangan kirinya memiliki bekas luka bakar yang sangat buruk dan tangan itu gemetar hebat seolah baru saja mengangkat beban yang sangat berat.

   “Aku pindah ke ibukota 4 tahun lalu. Setelah kecelakaan itu,” sambungku akhirnya.

  Ia kini duduk di hadapanku, menatapku dengan sorot diam. “Kau keluarga Narra. Keponakan Septa,” katanya lagi, kali ini ia mengucapkannya dengan tenang. Ia sepertinya mulai mengingat identitasku.

  Aku memandanginya dengan mata lekat. Dan rasanya kali ini aku juga mulai merasa wajah itu sedikit familiar. Mungkin kami memang pernah bertemu beberapa kali sebelumnya saat kami masih tinggal di kota itu.

 “Kau benar-benar baru mengetahui tentang penyebab sesungguhnya ledakan itu sekarang?”

 Aku terdiam, merasakan kembali frustasi itu keluar. “Ya.” Suaraku tiba-tiba terdengar aneh.

 “Dari siapa?”

 Aku menatapnya sejenak. “Dari temanku.”

 “Dan kau mempercayai ceritaku?” tanyanya hati-hati.

 Aku mengamatinya beberapa saat. “Apa alasanmu untuk menuntut mereka waktu itu?” tanyaku justru padanya.

 Ia kemudian terdiam sejenak, lalu menggeleng lemah. “Aku bisa mengerti mengapa semua orang berpikir bahwa aku menuntut Pak Rey hanya untuk mendapatkan uang ganti rugi.” Ia melirikku sekilas dengan mata sendu. “Bagaimana pun juga, aku hanya pekerja pabrik dengan upah sederhana.”

 Tatapanku kembali tertuju pada luka bakar di tangan kirinya. Aku tetap diam, menahan diri untuk tidak berkomentar dan membiarkannya melanjutkan ceritanya.

 “Tapi bukan, ini bukan soal uang.” Bu Siska kini menoleh, menatap ke arah foto yang bertengger di atas TV. Ia terdiam beberapa saat. “Ibuku selalu mengajarkanku untuk jujur dan aku hanya berusaha melakukan hal itu sejak dulu.”

Beberapa saat tidak ada yang bersuara.

Lihat selengkapnya