Aku duduk dengan diam, menatap ke sekeliling ruangan ini dengan perasaan berkecamuk. Ini pertama kalinya aku berada di ruangan ini, tapi anehnya aku bisa merasakan suasana yang familiar dari tempat ini—mungkin lebih tepatnya dari pemiliknya.
Suara pintu terbuka muncul dan aku sama sekali tidak perlu mendongak untuk memastikan siapa yang baru saja memasuki ruangan ini.
“Aku benar-benar tidak menyangka kau datang ke sini menemuiku.”
Aku hanya tersenyum kecil, memandangi Sarah yang kini berjalan melewatiku menuju kursi di balik meja kayu besar di hadapanku. Begitu ia duduk, tatapannya kini mulai terpaku padaku dengan sorot datar.
“Kau tidak perlu terburu-buru. Aku sudah meminta sekretarisku untuk membatalkan janji siang ini, jadi aku punya banyak waktu untukmu,” ujarnya sambil tersenyum.
Aku menatapnya beberapa saat, kemudian memberikannya senyum yang sama. “Terima kasih.”
“Kau mau minum?”
“Aku datang ke sini bukan untuk berbincang-bincang sebagai teman. Aku yakin kau sadar itu.” Aku menatapnya sejenak. “Tapi kurasa kita memang tidak pernah benar-benar berteman selama ini,” sambungku sambil mendengus.
“Dan kau membenciku sejak masalah Hilda muncul?”
“Tidak, tapi sejak aku mengetahui kalau kau menyembunyikan kebenaran tentang ledakan pabrik ayahmu yang membunuh keluargaku sejak bertahun-tahun lalu dariku.”
Sarah terdiam beberapa saat, tapi ia masih tidak melepaskan tatapannya dariku.
“Dan jangan coba-coba memberi alasan bahwa kau menyembunyikan hal ini dariku demi perasaanku. Aku cukup mengenalmu dan tau kalau tidak melakukannya karena itu, Sarah,” sambungku lagi.
Ia kini tersenyum, senyum yang tidak menyentuh matanya.
“Kau melindungi ayahmu, tentu saja,” ujarku. Aku mendengus. “Dan merahasiakan hal ini dari orang-orang yang menurutmu akan berbuat ulah dan mengungkit masalah ini lagi ke publik.”
Aku menyadari wajahnya kini mulai kaku, tapi senyum itu masih bertengger di wajahnya. Selama beberapa saat ia tidak bersuara dan aku membiarkan suasana hening selama beberapa saat, menunggunya berkata sesuatu tentang hal yang baru saja kukatakan padanya.
“Darimana kau tau soal ini?” tanyanya akhirnya. Suaranya terdengar begitu tenang, sangat bertolak belakang dengan wajahnya yang mulai mengeras.
“Kenapa? Kau ingin membungkam mereka kembali?” Rasa jengkel mulai menyelip keluar dari dalam diriku. “Bungkam aku dulu, kalau begitu,” sambungku.
Sarah menggeleng. “Kau tau aku tidak akan melakukan hal itu padamu—”
“Kau pikir aku tidak tau bahwa selama ini kaulah yang menyuruh anak buahmu untuk menerorku?”
Ia kembali diam, dahinya mulai berkerut.
“Kaulah yang memaksa Pak Wira untuk menerorku. Berkali-kali menelponku setiap tengah malam, dan bangkai itu—” Tawa kecil menyelip keluar dari mulutku. “Anak buahmu yang memasukkan bangkai anjing itu ke dalam bagasiku saat aku keluar dari mobil,” sambungku dengan nada tajam.
Sorot matanya kini kembali berubah datar dan aku sama sekali tidak melihat sedikit pun rasa menyesal di mata itu. Dan itu sudah cukup bisa membangkitkan kembali rasa marah yang sejak tadi terpendam dalam diriku setiap kali melihat wajahnya.
Aku menarik napas panjang, kemudian memajukan badanku untuk menatapnya lebih dekat. “Sekarang aku minta padamu untuk memberitahuku dimana Tommy sekarang.”
Dahinya kini berkerut semakin dalam. Aku tahu ia jelas-jelas mengetahui bahwa Tommy benar-benar hilang. Jantungku mulai terasa berat setiap kali memikirkan hal ini. David baru saja memberitahuku bahwa sejak kemarin malam Tommy benar-benar tidak lagi bisa dihubungi. Lokasi terakhirnya bahkan tidak lagi di hotel Angor. David sudah mengecek ke sana dan ternyata Tommy sudah pergi dari hotel sejak dua hari lalu.