ANGOR

Indah Thaher
Chapter #51

Menunggu

Aku kembali menginjak pedal gas semakin dalam, begitu merasakan amarah dan frustasi itu kembali menyelimuti diriku dengan cepat. Jantungku kini terasa panas setiap kali ingatan tentang pertemuanku dengan Sarah beberapa menit lalu kembali memenuhi kepalaku.

Aku masih tidak bisa menemukan dimana Tommy. Dan emosi itu hampir saja membiarkanku untuk bersikap kasar padanya untuk memaksanya memberitahuku tentang keberadaan Tommy.

Keluarga Waksono sudah mengambil orang tuaku, adikku, Hilda, lalu mengusir Bu Siska dari kota ini. Dan aku tidak akan membiarkan mereka mengambil Tommy dariku.

Mataku langsung membesar, tertuju pada sosok yang baru saja kulewati. Aku langsung menginjak pedal gas dalam-dalam, lalu bergegas keluar dari mobil dan berjalan mengejar sosok itu.

“Bu Hilda,” panggilku dengan suara keras.

Ia kemudian mendongak dan seketika itu wajahnya langsung pucat ketakutan.

Penampilannya terlihat sedikit berantakan dan wajahnya kini dipenuhi kekalutan. Kemeja polos berwarna cream itu kusut dan keluar dari rok panjangnya. Dan sekali lagi rasa frustasi untuk membantunya kembali muncul dengan cepat.

“Apa Anda baik-baik saja?” tanyaku hati-hati.

Ibu Hilda kemudian mulai menatap ke sekeliling kami dengan was-was.

“Tunggu,” ujarku, begitu aku menyadari bahwa ia ingin beranjak pergi dariku.

“Berhentilah, Lauren. Kumohon …” bisiknya dengan sorot ketakutan. Aku tahu yang ia maksud adalah tentang penyelidikan kematian Hilda. “Sekarang Tommy juga akan menjadi korban,” sambungnya dengan begitu lirih. Tangannya kini gemetaran.

Aku tertegun, sama sekali tidak bisa berkata apa-apa. Perasaanku kini bercampur aduk, penuh dengan amarah, ketakutan dan frustasi menjadi satu. Tapi semua itu cukup membuat jantungku kembali berdetak liar.

Dan sebelum aku sempat membuka mulut, Ibu Hilda sudah berjalan menjauh dari tempatku berdiri dengan sangat cepat, tanpa menoleh lagi padaku.

David benar, kota ini memang gila.

Trrrt.

Aku langsung meronggoh ponsel dari sakuku, kemudian menatap layar ponsel itu sekilas sebelum menempelkannya di telingaku.

“David,” jawabku.

“Kau dimana?”

Aku mengerut, menyadari dengan jelas nada kesal di suaranya. “Aku di ...” aku mulai menatap ke sekeliling dan menyadari bahwa aku berada di depan lapangan basket, tidak jauh dari kantor polisi kota ini.

“Lauren?”

Aku mengerjap. “Aku di depan lapangan basket, 1 kilo dari kantor polisi—”

“Masuk ke mobilku, sekarang.”

Sebuah mobil sedan hitam kemudian berhenti tepat di depanku. Lalu wajah David kemudian muncul dari balik jendela mobil dengan raut wajah kelam. Ia kemudian menutup ponselnya dan menelengkan kepalanya ke arah kursi penumpang, mengisyaratkanku untuk masuk.

Sebagian diriku rasanya tahu apa yang membuatnya terlihat kesal denganku. Dan itu membuatku ikut berbalik kesal padanya. Aku berjalan cepat menuju pintu mobil, lalu masuk sambil mengatupkan rahangku dengan keras.

Selama beberapa saat, kami hanya saling menatap dengan rasa kesal yang sama. David kemudian menghela napas sambil menyisir rambutnya dengan kesal.

“Sebelum kau memarahiku dan menganggapku begitu tidak bertanggung-jawab karena aku diam-diam bertemu dengan Sarah untuk menanyakan Tommy, kau harus mendengar ini.” Aku menyodorkan ponselku padanya.

Ia mengerutkan alisnya. “Mendengarkan apa?”

“Aku merekam semua pembicaraanku bersama Pak Rusadi, Bu Siska.” Aku menatapnya lekat-lekat. “Dan Sarah.”

David terdiam, ekspresinya sama sekali tidak bisa kubaca. Tapi detik berikutnya, ia mengambil ponselku.

Aku menelan ludah, tiba-tiba merasa was-was. Aku kembali menunjuk ponselku yang kini ada di genggamannya. “Kita bisa menggunakannya sebagai bukti—”

“Belum.”

Alisku berkerut. “Kita sudah mendapatkan bukti yang cukup. Kita bisa menangkap Sarah sekarang, David.”

Lihat selengkapnya