Badanku terasa berat, seperti ada magnet yang berada di bawahku dan tetap menarikku untuk menempel di tanah. Aku merasa begitu lemas, hingga aku bahkan tidak bisa membuka mataku. Satu-satunya yang menandakan bahwa aku masih hidup hanyalah gerakan lemah dadaku yang berusaha mengambil udara sejak tadi.
Shrreek … Shrreek …
Aku mencoba menghirup napas melewati hidung dan mulutku yang sedikit terbuka. Dan seketika itu juga aku mencium bau tanah dan daun yang lembab. Aku menduga itulah mengapa pipi kiriku terasa dingin dan basah. Dengan bersusah payah, aku berhasil menyimpulkan bahwa aku sedang terbaring di tanah yang basah dan penuh dedaunan.
Shrreek … Shrreek …
Aku berusaha membuka mata dan rasa sakit luar biasa langsung menerjang kepalaku dengan hebat. Tapi anehnya tidak ada suara jeritan keluar dari mulutku. Aku terlalu lemas.
Sesuatu mengalir dari atas kepalaku—cairan, seperti air atau keringat. Dan cairan itu terus merembes hingga dahiku dan juga merembes jatuh ke belakang kepalaku hingga menjalar ke leherku.
Aku kembali menarik napas dengan perlahan. Dan kali ini aku mencium bau lain. Itu seperti bau besi dan … bau busuk yang entah apa.
Shrreek … Shrreek …
Sekarang aku bisa mendengar jelas suara itu. Suara itu sejak tadi terdengar begitu samar di telingaku. Tapi saat kini aku mendengar lekat-lekat, suara itu sebenarnya terdengar begitu dekat dari tempatku. Tidak hanya itu, aku juga mendengar satu suara lain. Suara napas memburu, napas dan gumaman. Hanya satu orang, aku cukup yakin itu. Hutan ini cukup sunyi hingga aku bisa dengan mudah membedakan setiap suara yang ada di hutan ini.
Aku kembali berusaha membuka mata dan kali ini dengan perlahan aku mulai berhasil melakukannya.
Pandanganku kabur dan kepalaku langsung berdenyut-denyut sakit. Tapi samar-samar, aku bisa melihat satu sosok berdiri membelakangiku di sebuah lubang tidak jauh dari tempatku, sedang menggerakkan lengannya ke depan dengan sikap aneh. Aku terus mengerjapkan mata, berusaha membuat pandanganku fokus.
Sosok itu kini mulai berputar, berdiri menyamping hingga satu sisi wajahnya tampak. Aku menyipitkan mata, berusaha menatap wajah itu lekat-lekat sementara ia masih tidak menyadariku.
Lalu badanku langsung membeku, mengenali siapa sosok itu sekarang.
Ibu Hilda.
Itu Ibu Hilda, dengan pipi penuh dengan noda darah dan rambutnya yang berantakan basah dan dipenuhi tanah. Bajunya masih sama dengan yang terakhir kali kuingat saat aku menemuinya pagi tadi. Namun kini kemeja cream itu tidak lagi bersih, kemeja itu kini dilumuri tanah dan noda darah.
Dan gerakan lengannya itu tidak aneh, karena yang sedang ia lakukan sejak tadi adalah menggali tanah di sampingku.
Semua ingatan mulai muncul di kepalaku dan kesadaranku mulai sepenuhnya pulih. Apa Ibu Hilda yang memukulku tadi?
Jantungku langsung berpacu kencang. Tanpa memikirkan alasannya, aku tahu bahwa aku kini dalam bahaya dan aku harus keluar dari hutan ini secepat mungkin. Aku kembali menatap ke sekitarku, mencari sesuatu yang bisa kugunakan sebagai senjata, tanpa suara sedikit pun. Ibu Hilda masih sibuk menggali tanah itu sambil memunggungiku.
Sebuah batu berada tidak jauh lututku. Lalu sambil menahan napas, aku mulai bergerak perlahan menjulurkan tanganku, meraih batu itu—
“Tidak!!” Suara jeritan itu langsung membuatku jantungku berdetak cepat.
Ibu Hilda berbalik dan kini menyadari bahwa aku sudah membuka mata. Aku langsung berguling ke belakang sebelum ia sempat menjangkauku. Ia kini mulai naik dari lubang tanah itu dan merangkak mengejarku.
Sambil menahan denyut sakit di kepalaku, aku terus berusaha merangkak menjauh dari sana sekuat tenaga.
“AAKKHH!” Rasa sakit langsung menyerangku dengan cepat. Sesuatu baru saja menyayat betis kananku dengan dalam dan keras hingga rasanya hampir bisa mematahkan tulangku.
“BERHENTI!!” jeritnya lagi, jelas sekali tidak menyangka bahwa aku masih hidup.
“Oke! Oke! Kumohon …” ujarku panik dengan napas memburu. Aku berbalik, mengangkat tangan ke arahnya dengan gemetaran tanpa tenaga. Badanku kini semakin lemas dan aku tau aku tidak bisa bergerak cepat lagi.
Aku menatapnya sambil menarik napas kasar berkali-kali. Ia kini berdiri diam, menatapku dengan sorot liar yang aneh. Ia masih menggenggam sekop itu dengan sangat erat hingga buku jarinya memutih. Ujung sekop itu kini berlumuran darah—darahku.
“Kumohon …” pintaku lagi dengan nada lemah. Aku masih belum menurunkan tanganku, menunggu mata liar itu kembali normal seperti sorot mata Ibu Hilda yang selama ini biasa kulihat. Tapi tidak ada tanda-tanda hal itu akan terjadi. Ia terlihat … gila.
“Apa …” hanya itu yang keluar dari mulutku.
“Aku sudah bilang untuk jangan lagi mengganggu Hilda,” bisiknya. Wajahnya kini terlihat seperti menahan tangis.
“Aku berusaha membantumu—”
“Tidak!! AKU SUDAH BILANG UNTUK JANGAN LAGI MENGANGGU HILDA.”
Badanku kembali tegang. Aku semakin mengangkat tanganku lebih tinggi, menunggunya melayangkan sekop itu lagi. Tapi Ibu Hilda tetap diam, masih menggenggam sekop itu dengan erat.
Aku menelan ludah, berusaha untuk tetap menatapnya dengan tenang. Dengan sisa kesadaranku, aku berusaha untuk memikirkan semua situasi ini dan hubungan Ibu Hilda dengan semua hal ini.