Saat aku akhirnya membuka mata, yang kulihat pertama kali adalah langit-langit mobil berwarna putih bersih. Rasa nyeri itu sudah jauh mereda sekarang, walaupun kepalaku masih terasa pusing dan kakiku masih terasa sedikit berdenyut. Tapi setidaknya aku sudah bisa merasakan kesadaranku datang kembali dengan cepat.
Aku terbaring di sebuah kasur kecil yang sedikit keras—tandu. Aku sadar kalau aku berada di dalam mobil ambulans.
“Lauren?”
Aku langsung menoleh mencari suara yang kurindukan itu dan kelegaan menyelimuti badanku dengan cepat. David duduk di sampingku, dengan baju yang berantakan dan kotor penuh debu bercampurkan noda darah. Ia kini menatapku dengan alis berkerut dan rahang mengeras.
Aku menunggunya berbicara lagi. Tapi kemudian helaan napas keluar dari mulutnya. Ia lalu merengkuh wajahku, kemudian menunduk dan menempelkan dahinya padaku dengan pelan. Selama beberapa saat kami tidak bersuara. Dan aku mulai memejamkan mata, membiarkan napasnya menyapu wajahku.
“Jangan lakukan hal seperti ini lagi,” geramnya. “Kau membuatku ketakutan setengah mati,” sambungnya.
“Maafkan aku.”
Aku membuka mataku dan mendapatinya kini menatapku lekat-lekat. Dan rasa nyaman langsung menyelimutiku sekujur tubuhku dengan cepat, memelukku dengan sensasi yang sangat aneh namun begitu tentram.
David kemudian menunduk dan mencium keningku dengan lembut. Dan aku langsung melingkarkan lenganku pada lehernya, menahannya di pelukanku selama beberapa saat.
“Bagaimana kau menemukanku?” gumamku kemudian begitu ia melepaskan pelukanku.
“Pak Wuno mendengar suaramu dari dalam hutan.” Ia mengangguk, menyadari keterkejutanku. “Dia selama ini berada di rumah itu, tidak pernah keluar karena tidak ingin dekat siapa pun di kota ini,” sambungnya.
David kemudian menoleh sekilas ke luar. “Dan aku berusaha mencari Ibu Hilda begitu mendapat informasi ada yang melihatnya terakhir bersama Tommy, jadi aku langsung membawa pasukan ke sini.”
Aku berusaha bangkit, namun tangan David langsung menahanku. “Jangan.”
“Tidak, kumohon—” suaraku tiba-tiba tercekat. Tiba-tiba ingatan tentang semua hal gila yang terjadi di sini kembali memukulku.
David kemudian menghela napas, lalu kini membantuku bangkit dari tandu. Kepalaku terasa berputar-putar sejenak, tapi aku tetap berusaha bergerak. Aku menyadari kepala dan kaki kiriku sudah diperban dengan erat. Jadi kepalaku memang terluka parah dan sesuatu yang mengucur membasahi kening dan leherku saat di hutan tadi memang darahku sendiri.
Aku lalu mendongak, mengangkat kepalaku begitu pusing itu mereda. Lalu pandanganku tertuju pada apa yang ada di balik pintu ambulans ini.
“Bantu aku,” pintaku dengan nada serak.
David ragu sejenak, kemudian akhirnya bergerak membantuku keluar dari mobil ambulans ini. Begitu sampai di luar ambulans, ia langsung membopongku dan membiarkan lenganku bergelayut di bahunya. Ia memeluk pinggangku, membiarkan bebanku menempel di badannya agar aku bisa berdiri tanpa terjatuh.
Pandanganku langsung bergerak cepat. Aku menyadari bahwa aku sudah berada di depan hutan itu, halaman kosong di sebelah rumah Pak Wuno—tepat di seberang rumahku. Aku melihat garis polisi terlihat mengintari tepi hutan itu.
Langit kini sudah mulai terang, menjelang dini hari. Aku bisa melihat setitik cahaya matahari mengintip di ujung sana.
Ada banyak orang di sini, berdiri di luar hutan itu, mengelilingi mobil-mobil polisi dan ambulans yang hampir memenuhi halaman dan jalan ini. Mereka semua masih menggunakan baju tidur dan jaket, menatap ke arah hutan. Beberapa sibuk berbicara, beberapa hanya diam menatap hutan itu. Para polisi berseragam bercampur dengan petugas ambulans mengerumuni tepi hutan itu. Beberapa dari mereka sibuk berbolak-balik memasuki hutan itu dengan senter sambil sesekali meneriakkan perintah satu sama lain.
“Berapa lama aku pingsan?”
David melirikku sekilas. “Satu jam.”
Aku menelan ludah, membasahi tenggorokanku yang kering. “Dimana Ibu Hilda?” tanyaku lirih.
“Sudah dibawa ke kantor polisi,” jawab David singkat.
Aku mengangguk diam, kembali mengingat suara teriakan pilu darinya sesaat sebelum aku pingsan tadi. Dan itu sudah cukup membungkam mulutku dan membiarkan rasa bersalah itu menyelimutiku dengan cepat. Aku tidak berani menanyakan lebih lanjut tentang apa yang selanjutnya akan terjadi pada Ibu Hilda. Apa mereka akan memenjarakannya? Jika itu benar, kemungkinan besar ia akan dipenjara lebih dari 20 tahun. Tapi kondisi mentalnya … apakah ada kemungkinan ia justru akan dimasukkan ke rumah sakit jiwa?
Lalu tiba-tiba pandanganku tertuju pada dua orang polisi yang kini sedang mengangkut sebuah kantong di kedua sisi ujungnya keluar dari hutan. Lalu sedetik kemudian, dua orang polisi lain mengikuti, sama-sama mengangkut sebuah kantong yang mirip dengan kantong sebelumnya. Jantungku langsung berdesir begitu kencang begitu menyadari itu adalah kantong berisikan mayat. Sebuah tangan dengan arloji mencuat dari kantong itu. Arloji itu penuh dengan tanah, kaku seperti tangan itu.