Ani-ani Metropolitan

Novi Wu
Chapter #2

Bagian 2


Nada membuka kamar pintu kamar kos berukuran tiga kali tiga meter. Sudah tiga bulan gadis itu harus merelakan kenyamanan hidupnya tinggal di kos ber-AC, dan kini dirinya harus pindah di kamar kecil, meski masih satu kawasan dengan kos yang dulu.


Nada meletakkan bungkusan makanan yang diberikan ibu tadi di atas meja. Lalu membaringkan tubuhnya kasur lantai yang tentu saja tidak empuk. Ia menatap langit-langit kamarnya, hingga tanpa terasa air matanya mulai menetes. Sebenarnya Nada sudah tidak kuat. Namun, jika dia berhenti sekarang tentu saja semua yang kedua orang tuanya lakukan selama hampir empat tahun ini sia-sia.



"kalau boleh jujur. Ini berat sekali." Nada bergumam pelan, gadis itu sesekali menyeka air matanya yang mulai menetes di pipi. "Apa aku terima tawaran Amara saja, ya?" Ia kembali berpikir tentang tawaran teman kuliahnya tadi. "Gila kamu, Nad. Masa ia kamu mau jadi ani-ani cuma karena mau nyelesein kuliah." Ketika kewarasannya kembali datang. Nada berusaha menampik pikiran kotor tersebut.



Pikiran Nada teralihkan karena ponselnya yang tiba-tiba bergetar. Gadis itu merogoh totebag-nya untuk melihat siapa yang tengah meneleponya. Kala ia melihat nama sang ibu di layar benda itu, ekspresinya berubah seratus delapan puluh derajat.



"Halo, bu." Nada berusaha sekuat tenaga mengatur napasnya, agar sang ibu tidak khawatir.



"Udah makan, Nduk?"



"Ini baru mau makan."



"Alhamdulillah.... " Kalimat sang ibu berhenti sesaat. Terdengar tarikan napas dari wanita paruh baya itu, menandakan kegundahan hatinya. "Kamu nggak mau pulang aja, Nad? Ibu khawatir. Ibu baru bisa kirim uang buat UKT kamu bulan depan, dan kayanya nggak bisa banyak-banyak."




Nada yang mendengar ucapan sang ibu hanya bisa diam dan tentunya pasrah. Ia tahu betul keadaan ayah dan ibunya di Semarang seperti apa. "Nada nggak papa, bu. Nada di sini juga lagi usaha nyari kerjaan paruh waktu buat menuhin kebutuhan Nada, biar ibu ringan. Nggak usah mikirin Nada di sini. Nada baik-baik saja."



"Nggak dipikirin gimana. Kamu anak satu-satunya, kuliah jauh dan kekurangan uang."



"Mungkin ini cara Tuhan biar Nada nggak jadi anak manja lagi. Nada biar hidup mandiri."



Suara sang ibu berubah lirih, dan tampak terbata. "Maafin bapak sama ibu, nggak becus urus kamu, Nduk."



"Ibu udah urus Nada sampai di usia dua puluh satu tahun ini, dan Nada selalu bersyukur lahir dari rahim wanita hebat seperti ibu."



"Kalau begitu ibu tutup dulu, ya, Nduk. Hari ini bapakmu mau kontrol dulu. Jantungnya lagi bermasalah."




"Iya, Bu. Hati-hati di jalan."



Nada melepas ponselnya dengan perasaan campur aduk. Dia seolah baik-baik saja. Namun, kenyataannya tidak seperti itu. Di dalam dompetnya saja hanya tersisa uang lima belas ribu rupiah. Apa mungkin dia bisa bertahan sampai besok?



Pikirannya kembali teringat pada Amara, dengan perasaan gamang, gadis itu mencari nama Amara di layar ponselnya. Gadis itu mengirim pesan untuk temannya itu.




Mar... Aku mau coba tawaran kamu.


Lihat selengkapnya