ANIER

MONSEUR
Chapter #1

Prolog

Pagi yang indah berselimut kabut. Kilauan cahaya matahari mulai terlihat di ufuk timur. Menyinari dunia dengan kehangatannya. Alam menyambut pagi yang indah ini, menari-nari mengiringi ritme alami. Burung-burung di ataslah sebagai pemandu soraknya.

Seorang anak laki-laki duduk di teras rumah panggungnya, menatap alam yang begitu indah dimatanya. Dengan kaki yang diayun-ayunkan. Udara segar mengalir di rongga hidung. Menyejukkan hati dan fikiran.

Rumahnya berada di tengah hutan belantara. Jauh dari pemukiman kota. Hanya ada beberapa rumah di sana, mungkin enam atau tujuh rumah, yang masing-masing berjarak sepuluh meter. Rumah itu tidak besar, hanya cukup untuk satu keluarga, rumah sederhana serba kayu ini dibangun oleh ayahnya sendiri. Entah apa alasan ayahnya membangun rumah di tempat seperti ini, jauh dari perkotaan.

Namun anak itu tetap bahagia dengan keadaannya, bahagia dengan lingkungannya. Karna ia memiliki ayah dan ibu yang sangat baik dan selalu ada untuk dirinya. Tidak ada yang perlu dirisaukan. Walaupun ia tidak memiliki satupun teman, ia masih punya ayah dan ibunya.

“Kau sedang apa Agira?” seorang wanita datang menghampiri. Duduk di samping anak itu.

Agira tersenyum. Itu ibunya. Ia berumur empat puluh tahun. Wajahnya yang manis saat tersenyum terlihat sedikit manua. Keriput terlukis di setiap sudut wajahnya.

“Aku sedang melihat pemandangan bu, itu indah sekali, aku seperti berada di surga.” Agira tersenyum. Menampakan wajah polosnya.

Apa yang dikatakannya bukanlah omong kosong belaka. Pemandangan di depan sana memang indah. Lembah yang hijau dipenuhi pepohonan. Pohon-pohon tinggi sangat terlihat jelas dan kokoh. Air terjun kecil terlihat di ujung lembah, menambah keindahan alunan instrumen di sana.

Ibunya tersenyum. Mengusap kepala anaknya yang saat itu masih berumur lima tahun.

“Kau benar nak, itu memang indah.”

Hening. Keduanya kembali menatap pemandangan di depannya.

“Tapi bu …, apakah ada kehidupan lain di luar sana? Jika ada, aku ingin sekali mengunjungi tempat itu bu, pasti pemandangan di sana tidak kalah indah dengan pemandangan di sini.” Agira berkata antusias memecah keheningan. Matanya yang berbinar menatap ibunya. Lucu sekali melihatnya.

Namun ibunya malah menatap Agira dengan tatapan serius. Seakan apa yang dikatakan Agira sangatlah berbahaya.

“Kau jangan coba-coba untuk meninggalkan daerah ini Agira! dunia luar tidak seperti apa yang ada dalam bayanganmu. Di sana sangatlah berbahaya. Banyak monster yang siap melahapmu jika kau berani meninggalkan tempat ini.”

“Tapi bu, aku tidak takut dengan monster ...,” celetuk Agira. Ia tidak terlihat takut sama sekali, “Agira yang akan melahap mereka jika mereka berani mengganggu kita.” Agira mengepalkan tangannya kedepan, seperti sedang menggenggam alam asri di hadapannya, “Agira berjanji bu, jika ada yang mengganggu ketenangan kita di sini, maka aku sendiri yang akan menghabisinya melalui tanganku ini, bagaimanapun caranya.” Agira semakin antusias.

“IBU SERIUS AGIRA!!”

Sontak Agira terperanjat. Jarang sekali ibunya meneriakinya, bahkan tidak pernah, tidak pernah sekalipun ibunya meneriakinya. Yang ia tahu adalah, ibunya adalah orang yang sangat lemah lembut, tidak bisa bersuara keras. Namun kali ini, ibunya meneriakinya. Seakan Agira melakukan kesalahan yang amat besar.

Tapi mengapa demikian? Mengapa ibunya sangat sensitif dengan dunia luar? Ada apa di sana? Seberbahaya itu kah dunia luar?

Lihat selengkapnya