Anila Candrasa

FAKIHA
Chapter #1

1. Prolog

Sebuah misteri yang cukup sulit ditebak hanyalah sebuah takdir. Orang-orang selalu berpikir bahwa hidup menjadi orang lain adalah sebuah mimpi besar. Namun kenyataannya tidak semudah itu, karena setiap orang selalu punya mimpinya sendiri. Mungkin saja, kehidupan yang sedang aku jalani juga diimpikan oleh orang lain. Lalu, hal apa yang harus aku lakukan?

Itu pertanyaan yang sangat mudah bukan? Aku perlu menikmati sekaligus mensyukuri apa pun yang aku akan lalui, sekalipun tindakan selalu lebih sulit dilakukan daripada ucapan yang kita lontarkan.

Aku berdiri di tengah pantai. Aku menatap pantai tanpa mengalihkan perhatianku. Pantai itu tampak tenang di bawah langit malam yang bersih, hanya diterangi oleh sinar redup dari cahaya rembulan di atas. Ombak kecil datang bergulung ke tepi berwarna biru terang seperti menghasilkan cahaya yang indah kemudian menghantam pasir basah sebelum perlahan menghilang.

Mereka menyebutnya bioluminescence yaitu tentang fenomena alam di mana mikroorganisme laut, seperti plankton, memancarkan cahaya ketika terganggu oleh gerakan air, seperti ombak atau kaki yang melangkah. Cahaya yang dipancarkan ini biasanya berwarna biru atau hijau, menciptakan pemandangan indah dan magis di tepian ombak pada malam hari. Ini sangat indah. Tidak semua pantai ombaknya bisa menghasilkan cahaya warna biru seindah ini.

Udaranya sangat dingin, sampai hembusan angin yang datang dari laut membawa rasa menusuk di kulitku. Langit gelap dipenuhi bintang-bintang terang di kejauhan, hanya suara ombak lautan yang terdengar. Pantulan bulan di permukaan air menambah cahaya lembut di sekitar, membuat suasana terlihat sunyi dan dingin.

Aku mencoba untuk mengingat sesuatu, apakah aku pernah datang ke tempat atau tidak? Rasanya sangat asing. Sebentar, bukankah tadi aku baru tidur? Kenapa aku sudah berada di tempat yang berbeda? Apa yang terjadi padaku? Apa ini mimpi? Tapi terasa nyata sekali.

Aku terus berjalan melangkah ke depan menyusuri pantai. Berharap ada orang yang lewat. Namun sayangnya setelah sepuluh menit berlalu aku berjalan, tidak ada tanda apapun atau siapa pun yang lewat. Untung saja cahaya bulan benar-benar mampu menerangi malam ini dengan sangat terang. Ribuan bintang di langit terlihat cukup menawan. Aku tersenyum mengagumi, hingga suara berdehem terdengar di telingaku membuyarkan fokusku. Aku segera berbalik badan.

"Apa yang sedang anak muda lakukan ditempat ini?" tanya seorang kakek yang tiba-tiba berdiri di belakangku memgejutkanku. Aku berbalim badan, kini orang itu berada di hadapanku. Beliau orang tua paruh baya mengenakan tongkat, memiliki rambut kepala yang putih sempurna dan jenggot putih yang panjang sampai sedada, beliau juga mengenakan baju tebal berbulu warna putih belang-belang hitam seperti dari kulit harimau putih.

"Saya tidak sedang melakukan apa pun di pantai ini. Sepertinya saya tersesat. Seingat saya, saya tadi tidur di rumah saya sendiri, tapi entah kenapa tiba-tiba saya malah berada di pantai ini," aku menjawabnya dengan sejujurnya. Kakek itu tersenyum ramah, ia mengusap jenggot panjangnya itu. Aku penasaran siapa orang tua paruh baya ini. "Kalau boleh saya tahu, siapa nama Anda dan kenapa tiba-tiba saya berada di pantai yang sepi ini? Apa saya sedang bermimpi?"

"Aku tidak tahu apa maksudmu. Saya Ki Putih. Salah satu guru tertua di wilayah Utara ini. Tentu saja, ini sudah masuk dini hari, tepatnya sekarang sudah jam dua pagi. Siapa namamu wahai anak muda?"

"Saya Athar." Kakek di depanku ini tiba-tiba menghampiriku seperti terkejut ketika aku menyebutkan namaku. "Itu nama saya. Kenapa Anda sangat terkejut ketika mendengat nama saya? Apa ada yang salah?

Kakek itu menggeleng. "Siapa nama lengkapmu wahai anak muda?"

Lihat selengkapnya