ANILA - Kutukan Angin

Asya Ns
Chapter #4

Eps 4. Menembus

Telah menjadi kebiasaan Anila mencurahkan semua keluhannya pada sebuah buku.

Bukan karena tidak percaya pada orang lain, tetapi memang orang lain lah yang enggan membagi telinganya untuk mendengarkan Anila.

Telinga terbaiknya kini telah pergi. Satu-satunya orang yang berbaik hati menyumbangkan seluruh panca inderanya hanya untuknya. 

~•~

[GATA]

Anila mulai menulis sebuah puisi di buku diary aneh, yang tiba di kamarnya kemarin.

 

[Setega itu dirimu hadir, dan setega itu pula dirimu menyingkir.]

Tangannya masih terus menggores tinta, bahkan tinta dari matanya pun ikut keluar.

 

[Bersuka ria kita hardik waktu bersama-sama, bisa-bisanya kau pergi hanya sebab ku pinta.]

Otaknya mulai berantakan. Tidak mau berhenti memikirkan kejahatannya tidak mendengarkan penjelasan Gata kemarin. 

 

[Bukankah kamu temanku? Atau dirimu sama seperti mereka yang hanya memanfaatkanku.]


[Jika begitu benar kata mereka. Benar tiada yang mencintaiku. Tiada.. tiadaaaa...]

Air matanya masih terus mengalir.

Tepat di bait terakhir. Anila tidak menuliskan hurufnya dengan rapi di garis. Bahkan, di huruf A, Anila mencoret sesukanya. Padahal buku bersampul 'Mereya' itu masih baru. 

Anila tidak perduli. Dia terus mencoret-coret secara asal. Tangisannya menggelegar di dalam kamarnya yang tertutup.

Pintu kamarnya dikunci. Agar tidak ada yang menganggu.

Mendung tiba-tiba membuat seluruh awan berubah hitam. Sore yang akan gelap itu semakin pekat. 

Maghrib akan segera tiba, Anila tetap tidak perduli. Sedari tadi dia tidak keluar kamar, tidak makan, tidak mandi, tidak minum, buang air, atau apa pun.


Anila tetap membaringkan kepalanya di kamar yang berceceran buku. Buku-buku itu jatuh dari rak saat Anila mengambil diary-nya secara lunglai tak mau beranjak.

Coretnya semakin berantakan. Menekan pena secara kuat-kuat membuat bukunya tergores robek.

Goresan yang dibentuknya. Tanpa disengaja itu membuat sebuah lambang segitiga berhuruf A kapital.

Malam benar sudah tiba. Kegelapan telah datang menghempas matahari pergi. Bulan kalah bersinar dengan tertutupnya awan hitam.

Lampu kamar Anila tidak dinyalakan, hanya lampu tidurlah satu-satunya memberikan sedikit penerangan.

Tiba-tiba kamar menjadi terang benderang. Anila dengan mata sembab menjauhi cahaya yang berasal dari buku di hadapannya itu.

Terus-menerus cahaya yang keluar semakin terang. Anila semakin tak kuasa membuka matanya. Bahkan, tangannya harus membantunya menahan silau.

Buku itu membesar semakin terus besar. Tetapi, keanehan yang terjadi saat buku itu membesar semua itu terjadi tidak di dalam kamar lagi. 

Anila tidak melihat apapun. Dia menutup matanya rapat-rapat.

Ketika cahaya yang mulai memudar dan menghilang perlahan. Barulah Anila perlahan membuka matanya.

Benar-benar aneh. Anila tidak berada di dalam kamarnya lagi. Tidak ada sedikitpun dalam benaknya. Sekarang dirinya telah berada di alam bebas. Di depannya terdapat buku diary yang ia tulis tadi dengan ukuran sangat besar.

Sebesar bangunan rumah gubuk.

Lihat selengkapnya