Mereka membawa Anila pergi ke sebuah rumah. Rumah itu dibangun atas susunan beberapa buku sebagai batanya. Atapnya juga buku yang dibuka, beberapa tali penanda buku pada batanya keluar rumah.
Ada sebuah teras kecil dari kayu dan tingkat kecil dari buku-buku kecil.
Seorang wanita tua duduk di halaman rumah. Ia sedang membaca buku. Di hadapannya terdapat meja dengan tumpukan buku yang tingginya sekitar satu meter.
Anila lagi-lagi dibuat heran dan takjub, yang dia tahu buku, ya hanya buku diary. Anila tidak pernah menyangka ada alam yang benar-benar menjaga buku.
"Nenek," sapa kedua anak kembar itu.
"Oh cucuku, kemarilah, Nak," hatur sang Nenek tua yang kulitnya telah keriput dan rambutnya yang panjang telah memutih.
Anila melangkah.
"Siapa yang bersama kalian?," tanya sang nenek.
"Maafkan kami nek," ujar salah satu dari mereka.
"Ada apa, Cucuku?"
"Semua ini salah Takbaku, Nek," tuduh salah satu anak kembar itu yang bernama Baku .
"Tidak, Nek, ini salah Baku," sangkal Takbaku.
"Baku yang bawa dia, Nek!" cetus Takbaku.
"Baku yang mengambil buku Takbaku tanpa izin, Nek," terusnya.
"Halah! Takbaku juga pernah mengambil buku Baku tanpa izin, Nek," tuduh Baku asal.
"Kapan?" sangkal Takbaku cepat. Merasa tidak pernah mengambil buku Baku.
"Halah, dulu..." Baku berfikir "Kapan ya?" Diakan hanya mengasal jawaban.
"Kapan?!" desak Takbaku
"Dulu–" Takbaku mengerutkan dahinya "Dulu kapan?" pikirnya,
"Dulu, waktu kamu belum lahir!" Baku mengasal lagi.
"Hilih! Aku lo, pas belum lahir masih jadi sperma yang berebut."
"Iya berebut-kan?"
"Iya berebut sama temen-temenku lah, dan aku menang."
"Engga cuma kamu ya, kita berdua!"
"Oh iya. Kita ya, hehe aneh ya."
"Banyak orang yang sudah berebut dengan jutaan sperma lain yang ingin hidup."
"Heeh"
"Ketika sudah hidup, eh malah bunuh diri,"
"Iya ya, mereka saling tatap sedih."
Mereka sungguh tidak jelas sekali, tiba-tiba bertengkar, berdebat. Tiba-tiba terdiam, sedih dan akrab saling berpelukan.
"Sudahlah Cu, Baku, Takbaku. Katakan pada Nenek siapa itu?" tanya neneknya lagi, mengulangi.
Anila berkata, "Ini saya nek, Anila. Saya manusia nek."
Neneknya sangat terkejut "Oh tidak, manusia!"
"Bagaimana kalian bisa bertemu dengan manusia?"
Nenek itu sepertinya sudah tidak dapat melihat dengan baik lagi.
"Bawa dia kedalam," suruh Sang Nenek.
Kedua cucunya langsung saja menurut.
Baku dimintai untuk membuat minuman penghangat. Takbaku menyajikan makanan.
Nenek itu terbata-bata menjelaskan,
"Dengarkan aku, Nak, kamu sekarang telah sampai di dunia bookmagic. Ini dunianya buku, dan semua buku ada di sini, Nak. Entah, Nenek tidak tahu bagaimana kamu bisa sampai di sini. Intinya, di sini tidak boleh ada manusia."
Anila menelan ludah "Mengapa tidak boleh?"
"Dewi Angin sangat membenci manusia, Nak"
"Dewi angin? Mata Anila melotot "Siapa Dewi angin?" potong Anila penasaran.
"Dewi Angin adalah penguasa dan pengendali alam buku ini, Nak, dia membenci manusia. Sebab, manusia sering merusak buku. Manusia tidak bisa menghargai pepohonan yang ditanam untuk membuat buku. Itulah mengapa Dewi Angin membenci manusia," jelas sang Nenek.