Anila kembali datang ke sekolah pagi ini—dengan ceria. Kemarin, Baku dan Takbaku telah membuatnya berkeliling Alam buku, melupakan beberapa masalahnya.
Anila berjalan santai, hendak masuk ke dalam kelas.
"Heh, Nenek reot! Baca, tuh, tulisan di mading. Semoga nggak kena mental ya..." kata Erika yang dengan sengaja menabrak pundak Anila, menatapnya Anila sinis.
Anila masih tidak mengerti apa yang dimaksudkan oleh Erika barusan. Dia langsung saja bergegas berdiri di hadapan sebuah papan majalah dinding sekolah.
❝Lomba video content creator bersama ayah. Ini wajib diikuti oleh seluruh siswa kelas 12 sebagai syarat kelulusan.❞
Anila melongo, mengerutkan dahinya, tidak menyangka ada sebuah kewajiban gila tertulis di kertas besar, ditempel di mading umum sekolah.
"Ini pasti ulah Erika! Mentang-mentang Ayahnya kepala sekolah, terus bisa seenaknya," batin Anila menarik dagunya ke atas.
Anila masih terpaku di hadapan papan itu, membacanya, dan memastikan tulisan di hadapannya itu tidak benar. Kalaupun benar, Anila berharap akan ada dispensasi baginya—untuk tidak ikut.
"Heh, lihatkan, ituh tu wajib, udah di garis merah juga," kata Maya yang berdiri di belakangnya.
"Aku nggak mau ikut," sanggah Anila.
Ilona ikut datang, "Heh ini bukan kata kita ya, ini kebijakan sekolah! Jadi kamu harus ikut."
Anila tidak menjawab. Acapkali, ketika rombongan Erika datang, dia tidak bisa melawan mereka. Bahkan, dengan satu kalimat sekalipun. Bibirnya serasa terkunci, sangat susah untuk mengucap kata.
"Ikut!" bentak Ilona.
Anila hanya menggeleng tidak mau,
Dasha tiba, ikut bergabung bersama Ilona dan Maya. Dasha sangat tidak sabar melihat Anila yang hanya diam saja. Seketika dia langsung menarik kepala Anila hingga terdongak ke belakang.
"Heh, kamu! Denger nggak si! Diajak ngomong, malah diam aja. Ka-mu HA-RUS I-KUT! Dengar nggak?!"
"Aduh, Dasha... sakit, lepasin!"
Dasha justru malah menariknya semakin kuat dan membuat Anila semakin merintih kesakitan.
Sudah berulangkali Anila menolak untuk tetap tidak mau mengikuti kompetisi itu. Namun, mereka tetap memaksa Anila untuk ikut. Entah apa alasan mereka. Padahal, mereka juga tahu jika Anila tidak pernah bercerita tentang Ayahnya di sekolah.
"Aku tidak akan ikut..." teguh Anila.
Dasha menariknya semakin kuat dan Anila semakin tidak tahan.
"Baiklah, baiklah... tolong lepaskan, ini sangat sakit..."
"Kamu masih tidak akan ikut? Kenapa? Anak Haram tidak punya ayahkah?" tanyanya jahat.
Anila menggeleng lagi, tangannya berusaha melepas jambakkan keras Dasha.
Dasha menariknya tambah tak berperasaan.
"Baiklah... Iya! Aku akan ikut!"
Dasha mendorong kepala Anila menjauh, Anila buru-buru merapikan kembali tampilannya yang telah diacak oleh Dasha. Memegangi kepalanya yang sakit.
* * 彡* *
Semua makanan tersaji —telah selesai disantap, meja tersisa berantakan. Hanya Anila yang belum menghabiskan makanannya. Sejak tadi dia hanya memainkan sendok dan memakan dua suap. Padahal, makan malam telah tamat.
Tersisa ibunya sendiri yang membereskan meja. Sedang Anila masih duduk menghadap piring makanan. Ruang makan telah sepi.
Ayar beralasan ada banyak PR yang harus dia kerjakan.
Anala juga ikut mencari alasan. Katanya, harus mengirim naskah novelnya yang harus diterbitkan malam ini. Ya, Anala memang bekerja sebagai seorang penulis novel dan cerita di beberapa platform terkenal.
"Ibu, Anila mau tanya sesuatu, pada Ibu," ucap Anila merendahkan suaranya yang terdengar kecewa.