Seperti biasa, sebelum berangkat ke sekolah, Anila, Ayar, dan Anala duduk rapi. Menyantap sarapan di meja makan.
Anila masih merasa sedikit sebal atas jawaban Ibunya kemarin. Tetapi, sifat ibunya sudah kembali normal. Bagaimanapun dan se-benci apapun seorang Ibu kepada anaknya, rasa sayangnya akan melebihi itu semua.
Ayar berpamitan berangkat sekolah lebih dulu, karena temannya sudah menunggunya—sejak awal dia sarapan. Sehingga makan pun dia terburu-buru.
Anala sudah tidak bersekolah—santai. Anala berhenti bersekolah sejak SMP. Baginya sekolah itu tidak penting, yang terpenting adalah memiliki pengalaman. Jadi, dia berpikir untuk mencari pengalaman dalam hidup daripada terpaku urusan sekolah.
Prinsipnya tidak melulu benar, begitu juga dengan sikapnya. Sikapnya yang terkesan egois—memikirkan orang lain setelahnya.
Seringkali, dia merasa bahwa dirinya selalu benar dan mengerti segalanya.
Sudah sejak lama Anila mengerti sifat kakaknya. Setuju tidak setuju dirinya hanya bisa meng-yaa jika berdebat dengannya.
"Hati-hati di jalan ... Pulangnya jangan mampir–mampir," nasihat Ibu Anila saat ia menyalami tangan ibunya tetap dengan diam.
"Assalamualaikum," haturnya lirih sembari menaiki motor, menghidupkannya, dan mulai melaju pelan.
Grek! grek! stttthhh!
Tubuh Anila terdorong ke depan, motornya tiba-tiba berhenti.
Tuit twit!
Suara remote control yang ditekan.
"Iiih... Kak! Anila mau berangkat sekolah" teriak Anila dari halaman rumah.
Tuit twit!
Starter motor kembali hidup.
Itu motor kakaknya, telah disetel dengan remote kontrol. Jadi, percuma memiliki kontaknya jika remote-nya dikendalikan oleh kakaknya—seperti tiada guna.
Anila mulai menarik kembali gas, motornya berjalan pelan, dua meter dari tempatnya berhenti tadi.
Tuit twit!
Remote kontrol kembali ditekan.
"KA-KAK! INI UDAH SIANG LOH! Anila buru-buru!
Padahal jamnya masih menunjukkan pukul 06:40 a.m.
Tuit twit!
Anila kembali berjalan, tak lama,
Tuit twit!
"Hahahaha... his his" Anala yang menahan tawa dari balik jendela depan rumah, mengawasi Anila.
Brem brem!
Anila menarik gasnya lebih kencang supaya remote-nya tidak lagi terkontrol saat jarak jauh.
Tuit twit!
Anila salah, Anala telah sigap mengeklik dua kali.
Pagi itu terjadi begitu terus, hingga Anila tidak sempat jalan menjauh. Dia bolak-balik melihat pergelangan tangannya, jam yang semakin bertambah—telah menunjukkan pukul 06:59 a.m.
"Kakak, mah, Ayolah, kak, jangan dibuat mainan... Anila udah te...lat i...ni" Anila mulai merengek, matanya memanas.
Anala menghidupkan starter-nya secara otomatis. Lantas, mematikannya lagi, memberi harapan palsu kepada Anila.
Tuit twit!
Anila menurunkan penyangga motornya ditengah jalan.
"Udahlah! Anila jalan aja, gausah pake motor. Dah! Ambil aja itu motornya, ambil! huft huft..." Air matanya mengalir, tanpa nada.
"HEH! Pake aja,engga-engga, aku bercanda doang." Kakaknya berlari menghampiri motor yang ditinggalkan di pinggir jalan. Anila sudah tidak perduli, mau apa? Bodoh amat. Dia tetap berjalan.
"Ngapa si, Na? Pagi-pagi kok sudah berisik," tanya sang ibu menghampiri Anala yang berdiri di depan rumah.
"Itu si Anila, jalan kaki, motornya ditinggal, padahal aku cuma bercanda,"