Pohon kebencian terhadap Ibunya tumbuh subur di dalam jiwa Anila. Ia yang sudah merasa tertekan oleh keadaan dan takdir yang membuatnya bertindak gegabah.
"Aku akan kembali ke alam buku!" Anila kembali menggerakkan tangannya, mengulangi kejadian yang sama.
"Aku benci hidup disini! Bahkan jika bisa, tidak usah kembali sekalian!" Napasnya dikulum dengan tekat yang bodoh.
Wushh!
Ia sampai dalam tujuannya, di Alam buku.
"Kok kota sepi? Kemana perginya semua orang?"
"Ini sangat janggal. Bagaimana Alam buku dapat sesepi ini?" Pandangan Anila menyusuri kota.
"Nenek! Ya, aku harus menemui Nenek!"
彡
"Apa kalian Baku dan Tak-baku yang berani-beraninya menyembunyikan seorang manusia di Alam buku milikku?!" tegas Dewi angin.
"Bukan Dewi, ini salah Tak-baku."
"Salahku?... Tidak Dewi! Inii salah Baku."
"Kok jadi aku? Kamu kan yang melihatnya lebih dulu," sangkal Baku.
"Ya... kamu kan yang meminta kita menariknya pergi."
"Mana tahu aku, kalau dia manusia."
"Suttt....." Mata mereka saling melotot. Baku keceplosan mengatakan hal itu.
"Kamu, sih," tuduh Tak-baku.
"Kamu."
"Ini salahmu."
"Salahmu, kok."
"Kamu kok."
"DIAM!" bentak sang Dewi.
"Jika benar?! Di mana manusia itu?!"
"Dia?" Baku menatap lamat Tak-baku, takut keceplosan lagi.
"Dia telah kembali ke alamnya." Tak-baku berpikir cepat.
"Iya, benar. Dia telah kembali."
"Ha? Kembali?" Baku tidak mengerti,
"Oh, Iya iya, kembali."
"BOHONG!" geram Sang Dewi.
"Tidak." ucap Baku.
"Apakah berbohong itu baik?" tanya Tak-baku.
"Diamlah, Tak-baku."
"Ya... aku gak mau diam."
"Ya diamlah dulu, atau kita akan dipaksa terdiam."
"Apa kalian tidak bisa berhenti bertengkar?!" bentak Dewi Angin, bosan melihat perdebatan kedua anak kembar itu.
"Sutt...." Baku meng–stt.
"Kami benar, tidak tahu, Dewi," haturnya lagi.
"Ya. Dia telah pulang, Dewi," tambah Tak-baku.
"Kalian ya, benar-benar!" Dewi angin sangat marah, mengangkat kedua bocah itu keatas jurang monster skripsheet.
"Tidakk!! Dewi...." Keduanya berteriak kompak.