"DIRIMU AKAN MENJADI DIRIKU, KAU AKAN MENERIMA BALASAN ATAS APA YANG TELAH ENGKAU KATAKAN!" pekik Dewi angin mengudara.
Tubuh Anila yang berada dalam genggaman Dewi angin dilempar jauh ke langit, tubuhnya digulung habis oleh pusaran angin. Tangan kiri sang Dewi membuat sebuah kabut tebal berwarna merah kehitaman.
Wajah geram Dewi angin sangatlah menakutkan, ditambah kabut yang berada dalam cengkeramannya telah siap diarahkan kuat menerjang tubuh Anila.
Tubuh mungil kecil itu terpanting jauh ke angkasa, Anila tidak jatuh, tubuhnya menggantung, tertahan di udara.
Wajahnya digulung sedemikian rupa, dadanya terasa sesak seperti di timpa seribu batu yang menghantam tiba-tiba.
Jantungnya seperti hendak dikeluarkan paksa, hingga tiada lagi satupun kata yang mampu keluar dari mulutnya. Namun, matanya masih terus terpejam.
"Aeh..."
Hanya sebuah hembusan kasar nafas terakhir yang mampu Anila tunjukkan dari rasa sakit yang sungguh luar biasa.
Anila sudah pasrah menyerahkan dirinya kepada Tuhan. Mungkin, inilah akhir terburuk dari sikapnya yang tidak layak diberi toleransi atau dimaafkan.
Dewi angin terus memutar cepat tubuh Anila, dirinya terus mengerahkan kekuatannya kepada tubuh lemah yang tidak berdaya itu. Diputarnya semakin cepat, hingga semakin lama tubuh Anila seperti semakin akan menghilang jua.
Waktu terus berlalu,
Baku dan Tak-baku tidak bisa diam saja menyaksikan kejamnya perilaku Dewi angin terhadap manusia yang jelas-jelas itu melanggar hukum yang ada.
Berhubung sang Dewi sedang fokus terhadap Anila, kedua bocah kembar itu mendapatkan ide untuk melaporkan kejahatan Dewi angin kepada Ibunya.
"Mari, kita harus segera menemui Ratu," ajak Baku menarik tangan Tak-baku keluar dari kerumunan penduduk.
Mereka bergegas cepat, menjumpai kediaman Ratu angin yang merupakan Ibu Dewi angin.
Tubuh Anila semakin lama, semakin memudar, hingga tidak tampak. Setengah dari tubuhnya telah hilang dilahap angin, yang tersisa hanyalah tinggal bagian kepala saja. Mungkin beberapa menit lagi, kepala itu pun akan hangus bersama dengan angin yang menyelimuti tubuh Anila saat ini.
10 menit lagi.
Kedua penjaga menghadang Baku dan Tak-baku untuk memasuki kediaman sang Ratu,
"Biarkan kami masuk," kata mereka kompak.
"Kalian siapa?" hardik sang penjaga
"Ini sangat gawat, kami harus segera menemui Ratu," bantah Baku dengan kakinya yang masih gemetar hebat.
"Ratu angin tidak dapat ditemui oleh sembarang orang," tolak penjaga itu.
"Ini benar-benar gawat, ayolah..."
"Tidak!" penjaga itu masih bersikeras menolak.
9 menit.
"Apa kau lihat mendung di sana? Lihatlah di sana ada manusia yang sedang sekarat," ucap Tak-baku, membantu Baku bicara.
Kedua penjaga itu ternganga melihat manusia di atas langit yang menghitam pekat. Ini pertana kalinya bagi mereka melihat manusia secara langsung.
"Manusia!" tubuh kedua penjaga itu tertegun hingga menjadi arca.
9,20 menit.
"Ayo Tak-baku, segera...." Mereka berdua segera berlari memasuki kediaman sang Ratu.
8 menit.
"Ratu," tegur Baku dan Tak-baku bersamaan.
Sang Ratu terbang, turun dari atas tangga,