"Bukankah tadi Erika membentak-bentak memanggil, kok malah diam?"
"OMG... Bidadari masuk ke kelas kita..." atur Dasha terpukau.
Teet! Teet! Teet!
Bel tiga kali telah berbunyi, semua siswa lekas berlarian masuk ke dalam kelas.
Pak Malik dengan muka garangnya, berjalan sangat buru-buru menuju kelas Anila.
"Ayo anak-anak kita sege–" perkataan dan perjalanannya berhenti mendadak di bingkai pintu.
Tubuhnya senyap.
"Oh, siapa dia ini?" Matanya berkedip satu kali saja.
"Ya Tuhan! Ini pelajaran pak Malik! Bolanya belum aku ambil..." seru otak gadis itu tiba-tiba.
"Maaf, Pak, saya akan segera pergi mengambil bolanya sekarang..." Gadis itu segera menaruh tasnya dan berlari keluar.
"Eits, sudah, tidak usah, mari duduk!" Pak Malik kembali mendorong punggung gadis itu untuk duduk. Menyuruh Ilona yang duduk di depan, berganti tempat dengannya.
"Kenapa si dengan orang-orang? Kok pada aneh sikapnya?" Gadis itu mengerutkan dahinya, bingung.
"Apakah kamu siswa baru?Atau salah satu anggota team basket sekolah lain yang akan bertanding esok pekan?" Suara pak Malik terdengar sangat ramah, tidak seperti biasanya.
"Tapi jika iya, dirimu sangat tidak cocok jika menjadi pemain basket, cocoknya jadi istri bapak aja... Hehehe..."
"Uuuu..." teriak seluruh murid, kompak.
"Apalah bapak ini..." sahut Andra juga.
Gadis itu tersenyum ringan.
"Siapa dirimu, Nak? Mengapa tas dan pakaianmu mirip sekali dengan Si anak bebal, Anila itu?"
Senyumnya memudar, "Ya, saya Anila pak... Seharusnya saya masih menjalankan hukuman untuk mengambil bola selama 1 bulan terakhir, Pak,"
"WHAT!" Seisi kelas berdiri, berteriak terkejut.
Bagaimana tidak? Ya benar, Dia adalah Anila, Anila yang jelek dengan muka keloid kusut yang sering dipanggil nenek reot. Anila yang tiap hari disiksa oleh Erika dan teman-temannya. Dialah Anila, si anak haram dan dipandang sebelah mata oleh semua orang.
"ANILA?!"
Anila hanya mengangguk, mukanya menundukkan rasa kecewa dan bingung.
Erika memukul meja, "NENEK REOT?! Ga usah bercanda deh, ga lucu ini tuh!"
"Beneran temen-temen aku beneran Anila," suara memohonnya malah terkesan menggoda para lelaki kelas.
"Ouuhh..." Semua siswa pria, termasuk pak Malik mencair seketika.
"Ga mungkin seseorang bisa ganti muka, HEY!" seloroh Erika.
"Ganti muka?" Anila tidak mengerti apa yang dimaksud dan apa yang dibicarakan.
"May, bawa sini cerminmu," Maya memberikan sebuah cermin kepada Erika.
"SEE... LIHAT!" Menghadapkannya tepat di depan Anila.
"APA?!"
"Sama saja, kok?" Anila sangat tidak mengerti sebenarnya ada apa dengan mukanya itu. Yang ia lihat sama saja, muka yang sangat dia benci keberadaannya.
"Sama?! Dari mana? Kalau kamu beneran Anila coba sebutin temen kamu!"
"Temen? Aku ga punya temen, kecuali... Gata," Nadanya melemah ketika menyebutkan nama yang membuat hatinya berdesir itu.
"Oh, YA TUHAN!! Kamu benar-benar Anila? Bagaimana bisa mukamu jadi begitu cantik?!" bebernya.
Selama ini Erika sangat tidak menyukai Anila. Semua itu karena wajahnya. Erika sangat pilih-pilih terhadap siapa yang harus dia jadikan teman, dengan syarat utama adalah 'harus cantik'.