Anila baru pulang sekolah ketika senja tiba. Dia merasa sangat tidak nyaman berada di sekitar banyak orang. Semua orang menatapnya dengan tidak biasa. Padahal, menurutnya mukanya tidak berubah sama sekali.
Anila melepas sepatu, memasuki rumah.
"Kenapa mukamu kusut begitu? Gimana sekolahnya tadi?" tanya Ibunya menyiapkan makan untuk sore hari itu.
"Semuanya sama," jawab Anila tetap menekuk mukanya.
"Sama?" tanya Ibunya lagi,
Anila berkata di dalam hati, "Iya sama, kaya pertama kali aku masuk ke rumah selumbari."
Saat pertama kali Anila baru keluar kamar dengan muka berbeda, Ibu, Kakak, Adiknya tidak percaya, mengintrogasi terus-menerus, hingga hampir saja Anila diusir dari rumah gara-gara dikira penyusup.
Untung saja, keluarganya masih percaya pada ucapan Anila. Dapat menjawab seluruh pertanyaan yang dilontarkan oleh Kakak, Adik, dan Ibunya.
"Bagaimana mukamu dapat menjadi cantik?" tanya kakaknya.
"Aku gak tau, kak, yang aku lihat mukaku sama aja," jawab Anila.
"Halah, bohong kan?"
"Kenapa si, Kak? Takut tersaingi?" ledek Anila saat didudukkan di kursi untuk diintrogasi.
"Tapi kamu benar putriku, kan?" tambah Ibunya.
"Benar, Ibu..."
"Apa yang kamu ingat?"
"Aku tidak mengingat apa pun, aku merasa sama saja, dan ketika aku berusaha mengingatnya, aku hanya ingat se-embusan ngin berkelebat, sudah."
彡
"Ha! Kak Anila, kakak udah pulang?" teriak Ayar menghampiri meja makan, mengagetkan lamunan kakaknya itu.
"Iya,"
"Ih kakak cantik, Ayar suka lihatnya."
"Hih...," Anala memutar bola matanya, mendesis tidak suka akan pujian Ayar.
"Sudah, mari kita makan," ujar Ibunya menarik kursi, bersiap menyantap makanan.
"Tumben, Ibu meminta kita makan sore hari, banyak banget lagi? Biasanya kan, kita makan bersama hanya ketika pagi atau malam," tanya Anila sembari mengambil nasi.
Ayar dan Anala bersiap menyantap.
Pembicaraan santai saat makan sore itu terasa lebih hangat dibanding hari-hari biasanya, Ibunya sepertinya telah lebih mengerti. Selain itu, Ibunya pun merasa masih sangat canggung dan masih tidak bisa mempercayai bahwa yang sedang makan di depannya itu Anila, putrinya.
Matahari hampir terbenam, semburat jingga menghiasi langit. Mereka masih asik menikmati makanan sembari tertawa-tawa.
Anila mengancam adiknya dengan mengangkat sendok, membuat sendok di tangannya jatuh ke bawah meja.
"Aduh!"
"Makanya, Kak, jangan kaya gitu ke Ayar."
Anila segera menundukkan badannya, mengambil sendok. Saat Anila hendak menggapai sendok di hadapannya.
Dirinya dikejutkan akan keberadaan tangannya. Ada, namun tidak berfungsi. Berulang kali ia berusaha mengambil sendok itu, tetapi, tetap tidak bisa. Tangannya kenapa? Seperti semakin janggal saja.
Tangannya dapat dilihatnya normal. Hanya dirinya, tidak orang lain. Sebenarnya tangannya perlahan menghilang, perlahan-lahan menjalar ke seluruh tubuhnya.